Jangan Bangkitkan Cemburu-Nya
📖 Bilangan 5:11–31
Allah adalah Pribadi yang memperhatikan kesetiaan dalam relasi, termasuk relasi suami dan istri. Dalam hukum Taurat, jika seorang suami mencurigai istrinya tidak setia, ia diizinkan membawa perkara itu kepada imam (ay. 11–15). Pemeriksaan dilakukan dengan serius dan sakral — termasuk pemberian kutuk dan berkat oleh imam (ay. 19–26). Jika terbukti bersalah, si istri akan mengalami sakit, perut mengembung, dan sistem reproduksinya terganggu (ay. 27). Hukuman ini menunjukkan betapa seriusnya pelanggaran kesucian pernikahan di mata Allah.
📌 Allah Tidak Bisa Diperdaya
Tidak ada satu pun yang tersembunyi dari Allah. Ia tahu pikiran dan maksud hati manusia. Maka, daripada menunggu "pengadilan ilahi", lebih baik kita datang dan mengaku dosa di hadapan-Nya sekarang juga. Bila hukuman dari Tuhan telah dijatuhkan, pintu pengampunan tertutup.
Hal yang sama berlaku dalam relasi kita dengan Kristus. Alkitab menggambarkan Yesus sebagai Mempelai Laki-laki dan gereja sebagai mempelai perempuan-Nya (Ef. 5:23). Ketika umat-Nya tidak menjadikan Dia yang terutama dalam hidup mereka, Allah pun cemburu. Tetapi tidak seperti manusia, kecemburuan Allah bersifat kudus dan tajam — karena Ia sanggup menilai pikiran dan niat hati setiap orang (Ibr. 4:12).
Mungkin hari ini kita mulai sadar bahwa hati kita telah menyimpang, baik terhadap pasangan hidup, atau terhadap Tuhan. Mari mengaku dengan jujur. Sebutkan dalam doa pikiran dan perasaan yang menjauhkan kita dari kasih yang sejati.
📌 Salib Menutup Segala Kutuk
Syukur kepada Allah, sebab melalui salib Kristus, hukuman dosa telah ditanggung oleh-Nya. Setiap kutuk telah dihapus dari hidup mereka yang percaya. Kita dapat kembali kepada-Nya tanpa rasa takut, dan memulai kembali relasi yang dipenuhi kasih dan kesetiaan.
Bersyukurlah — karena Allah yang kudus juga adalah Allah yang pengasih!
Selamat Tinggal Kenajisan dan Kejahatan
📖 Bilangan 5:1–10
Tahukah Anda? Pada abad ke-16 di Inggris, kata goodbye pertama kali diperkenalkan sebagai bentuk pendek dari ucapan berkat: "God be with ye" — Tuhan besertamu. Sebuah doa bagi orang yang ditinggalkan.
Dalam bacaan hari ini, TUHAN memerintahkan bangsa Israel untuk memisahkan orang-orang najis dan pelaku kejahatan dari komunitas umat-Nya. Orang yang menderita penyakit menajiskan harus pergi meninggalkan keluarganya, tidak tahu kapan bisa kembali. Ia hanya bisa berharap kepada mukjizat Tuhan. Sebaliknya, keluarga yang ditinggalkan hanya bisa berdoa, "Tuhan besertamu."
Bagi pelaku kejahatan, tersedia jalan pemulihan: kesadaran akan dosa, pengakuan, dan pembayaran ganti rugi (ay. 7). Setelah itu, ia dapat kembali ke tengah komunitas.
📌 Ucapkan Selamat Tinggal kepada Dosa
Kenajisan dan kejahatan memisahkan manusia dari Allah dan sesamanya, seperti yang terjadi di Taman Eden. Namun, jalan pulang kini terbuka. Yesus Kristus menanggung hukuman dosa kita di kayu salib dan membayar tebusan kesalahan kita. Karena itu, berlaku janji yang indah ini:
"Jika kita mengaku dosa kita, Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan." (1Yoh. 1:9)
Hari ini, mari kita mengucapkan "selamat tinggal" kepada gaya hidup lama kita. Jangan menoleh ke belakang, sekalipun ada hal-hal yang terasa menghibur dari masa lalu itu. Tinggalkan semua hubungan yang menajiskan dan semua jalan hidup yang merusak.
Kembangkan relasi baru bersama Tuhan dan umat-Nya. Putuskan hari ini dengan siapa Anda akan berjalan selamanya—dengan Allah dan sesama yang tahir di dalam Kristus.
Ke mana pun kita melangkah, yakinlah: "Kebaikan dan kasih setia belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku." (Mzm. 23:6)
Bertetangga dengan Tuhan
📖 Bilangan 3:1–51
Dalam dunia kerja, rotasi jabatan dan lokasi penugasan lazim dilakukan untuk penyegaran dan promosi. Namun, prinsip ini tidak berlaku bagi suku Lewi. Mereka menerima hak istimewa untuk melayani TUHAN sepanjang hidup mereka, tanpa rotasi tempat atau jabatan.
Sejak usia satu bulan, nama setiap anak suku Lewi dicatat (ay. 15). Mereka dipilih untuk menggantikan anak-anak sulung Israel yang seharusnya turut binasa dalam tulah terakhir di Mesir (ay. 12–13). Setiap kaum Lewi mendapatkan tugas spesifik: ada yang mengurus tirai Kemah Suci, ada yang menangani tiang dan patok, ada yang menjaga perkakas-perkakas suci. Tugas ini bersifat permanen.
Sebagai penghargaan, TUHAN menempatkan suku Lewi di area permukiman terbaik: di sekeliling Kemah-Nya. Mereka menjadi tetangga TUHAN sendiri—sebuah keistimewaan agung. Siapakah yang tidak ingin hidup sedekat itu dengan Allah?
📌 Mengatasi Kejenuhan dalam Pelayanan
Namun, bahkan dalam kemuliaan pelayanan, kejenuhan bisa melanda. Melayani dalam rutinitas yang berulang—kebaktian, kunjungan pastoral, konseling, upacara seremonial—bisa membuat hati menjadi tawar. Tidak semua orang berkesempatan mengalami rotasi pelayanan. Banyak hamba Tuhan yang melayani di satu tempat seumur hidupnya.
Dari mana kita mendapatkan kesegaran rohani saat kejenuhan datang? Dari mana kita memperoleh sukacita baru bila tidak ada objek wisata atau hiburan di sekitar kita?
Jawabannya: datanglah kepada Tuhan. Ia mengundang kita:
"Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu." (Mat. 11:28)
Bila kita tinggal dekat dengan-Nya, kesegaran itu tersedia setiap saat. Seperti lirik lagu rohani, "Dia hanya sejauh doa." Seperti doa Daud:
"... aku akan tinggal dalam Rumah TUHAN sepanjang masa." (Mzm. 23:6)
Bertetangga dengan Tuhan berarti hidup dalam keintiman dengan-Nya—dan dalam hadirat-Nya, ada sukacita yang tak berkesudahan.
Kita Semua Bersaudara
📖 Bilangan 2:1–34
Mengapa Allah mengatur perkemahan bangsa Israel dengan begitu terperinci? Pada umumnya, karavan yang sedang mengembara membentuk pola melingkar atau persegi untuk melindungi diri dari serangan binatang buas atau perampok. Namun, bangsa Israel tidak perlu mengandalkan strategi manusia semata. Immanuel—Allah beserta kita—berdiam di tengah-tengah mereka.
Allah menempatkan suku-suku Israel mengelilingi Kemah Suci ke empat penjuru mata angin (ay. 3, 10, 18, 25), dengan Kemah Suci sebagai pusatnya (ay. 17). Dilihat dari ketinggian, formasi ini membentuk siluet sebuah palang. Salib ini, secara profetik, berbicara tentang kemenangan umat Allah yang dipimpin oleh Pribadi yang berdiam di antara mereka.
Tata letak itu juga menjadi sarana Allah untuk meleburkan berbagai suku yang berbeda-beda menjadi satu komunitas. Allah menanamkan prinsip saling percaya, saling mendukung, dan bekerja sama dalam perjalanan menuju Tanah Perjanjian. Prinsip yang sama juga kita lihat di dalam gereja mula-mula di Yerusalem (bdk. Kis. 2:41–47).
📌 Hidup dalam Kebersamaan
Allah membentuk umat-Nya untuk mengasihi dan melayani satu sama lain. Jadi, mengapa kita masih membeda-bedakan manusia berdasarkan status sosial, ekonomi, pangkat, atau bahkan tingkat spiritualitas?
Di era digital saat ini, manusia semakin terdorong menjadi soliter, menonjolkan diri, dan bergaul hanya dengan "kelompok" tertentu. Jika umat Allah hidup seperti itu, bagaimana dunia bisa melihat ekspresi salib Kristus di tengah-tengah kita?
Robohkan tembok pemisah di jemaat Anda. Mulailah dari diri Anda sendiri. Ingatlah, dalam Kristus:
"Tidak ada orang Yahudi atau Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus." (Gal. 3:28)
Kita semua bersaudara. Allah tinggal di tengah-tengah persekutuan kita yang penuh kasih. Kiranya kasih-Nya menjadi tanda pengenal kita di dunia ini.
Terhitung sebagai Umat Tuhan
Ketika Allah memerintahkan Musa untuk mengadakan sensus pertama atas bangsa Israel, mungkin banyak dari mereka bertanya-tanya tentang tujuan di balik perintah tersebut. Namun, dari penjelasan di dalam perikop ini, kita dapat memahami bahwa sensus ini difokuskan pada pria dewasa berusia dua puluh tahun ke atas yang sanggup berperang (ay. 1–3). Anak-anak remaja, meskipun kuat, tidak dihitung. Orang tua lanjut usia pun tetap dihitung jika masih mampu berperang. Suku Lewi sendiri dikecualikan, sebab mereka dikhususkan TUHAN untuk mengurus Kemah Suci (ay. 47–53).
Melalui sensus ini, Allah memperlihatkan bahwa umat-Nya dipersiapkan untuk memperluas Kerajaan-Nya. Di masa itu, raja-raja dunia melakukan sensus untuk memperkuat pasukan dan memperluas wilayah kekuasaan mereka (bdk. 2Sam. 24). Namun, Allah berbeda: Ia mengumpulkan umat-Nya bukan untuk ambisi duniawi, melainkan untuk memenuhi rencana surgawi.
Allah adalah Raja atas seluruh ciptaan. Ia adalah Kepala atas semua umat manusia, atas bangsa-bangsa, dan atas seluruh lembaga, baik sekuler maupun rohani. Ia yang memerintah, Ia yang membuka dan menutup pintu. Ia yang menentukan setiap peran dan tugas umat-Nya dalam Kerajaan-Nya.
📌 Siapakah Anda di Mata Allah?
Apakah Anda terhitung sebagai umat-Nya? Jika ya, di bagian mana Allah menempatkan Anda untuk melayani Dia? Sebab di dalam Kerajaan Allah, setiap tugas, sekecil apa pun, memiliki nilai yang besar di hadapan-Nya. Pedagang di pasar, guru di sekolah, sopir di jalanan, atau vikaris di mimbar—semuanya dapat memuliakan Tuhan jika dilakukan dengan setia dan penuh kasih.
"Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia." (Kol. 3:23)
Setiap pekerjaan baik yang kita lakukan adalah bagian dari ibadah kepada Allah. Melalui pekerjaan itu, kita bukan hanya memperoleh penghidupan, tetapi juga melayani Dia.
Bersyukurlah karena Allah mengikutsertakan kita dalam rencana-Nya. Mari kita kerjakan bagian kita dengan setia, sebab setiap umat yang terhitung di hadapan Allah adalah prajurit kasih di ladang dunia ini.
Jangan Lamban untuk Beriman
📖 Lukas 24:13–35
Diskusi teologis tanpa kehadiran Yesus hanya berakhir menjadi tukar pikiran kosong yang tak membuahkan iman. Hal ini tercermin dalam perjalanan dua murid menuju Emaus. Mereka berbicara panjang lebar tentang peristiwa besar di Yerusalem, namun hati mereka tetap diselimuti kebimbangan.
Intelektualitas yang tinggi atau semangat yang berkobar-kobar bukanlah tanda pasti dari iman sejati. Dibutuhkan campur tangan langsung dari Kristus untuk menumbuhkan iman dalam hati manusia. Baru ketika Yesus hadir di tengah mereka, iman mereka bertunas. Dan saat Yesus "menghilang", mereka telah mengenal-Nya dengan mata hati yang baru.
"Bukankah hati kita berkobar-kobar, ketika Ia berbicara dengan kita di tengah jalan dan ketika Ia menerangkan Kitab Suci kepada kita?" (ay. 32)
📌 Iman yang Diberi Nutrisi dari Allah
Kleopas dan temannya membuktikan bahwa pengetahuan tentang Alkitab belum tentu langsung berbuah iman. Meski mereka memahami sejarah dan nubuat, Yesus tetap menegur mereka karena lamban untuk percaya (ay. 25). Mereka baru benar-benar "melihat" Yesus saat Ia memecahkan roti, tanda kehadiran-Nya yang nyata dalam "Perjamuan Kudus" (ay. 30–31).
Allah tahu bahwa iman kita butuh dipelihara. Karena itu, Ia memberikan Perjamuan Kudus—sumber nutrisi rohani yang menguatkan kita. Saat roti dipecah dan anggur dibagikan, kita diingatkan akan kasih Kristus yang hidup dan terus hadir di tengah kita.
"Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman." (Yoh. 6:55)
📌 Sambutlah Kehadiran-Nya dengan Iman
Dalam setiap ibadah, Perjamuan Kudus menjadi momen istimewa untuk bertemu Yesus. Bukan sekadar ritual, tetapi perjumpaan rohani yang nyata. Mari jangan berlambat-lambat untuk percaya. Ketika Yesus mengetuk hati kita, sambutlah Dia segera! (bdk. Why. 3:20).
Allah sabar menanti kita. Ia mengundang kita bukan hanya untuk mengetahui tentang-Nya, tetapi untuk mengalami kehadiran-Nya. Saat kita dipanggil untuk melayani di ladang-Nya, jangan ragu untuk melangkah maju dalam iman.
Waktu Terbaik untuk Ujian Iman
Melaksanakan ibadah di tengah suasana duka bukanlah perkara mudah. Para murid Yesus menghadapi Sabat dengan hati yang hancur setelah kematian Guru mereka di kayu salib. Namun di tengah kekalutan itu, beberapa perempuan berinisiatif pergi ke makam Yesus untuk memberi penghormatan terakhir.
Tanpa diduga, mereka menerima kabar terbesar dalam sejarah: Yesus telah bangkit! Meski berita itu melampaui nalar manusia, mereka memilih untuk percaya kepada wahyu yang disampaikan oleh malaikat.
"Mengapa kamu mencari Dia yang hidup di antara orang mati? Ia tidak ada di sini, Ia telah bangkit." (ay. 5–6)
📌 Iman yang Teruji dalam Masa Sulit
Sebaliknya, para murid laki-laki menanggapi berita itu dengan skeptis. Prasangka budaya terhadap kesaksian perempuan mengaburkan mata hati mereka (ay. 11). Namun Allah berkenan meninggikan iman para perempuan itu. Dalam ketulusan dan keberanian mereka, iman yang sejati lahir—sebuah keputusan pribadi untuk percaya, meskipun nalar berkata lain.
Ujian terbaik iman bukan terjadi saat semuanya berjalan lancar, melainkan justru di masa-masa tergelap. Kekuatan fisik, latar belakang sosial, bahkan pengalaman hidup tidak menjamin seseorang bisa tetap percaya. Iman sejati adalah keputusan pribadi yang disemai dalam anugerah Allah.
📌 Percaya Meski Tidak Melihat
Di zaman ini, prasangka budaya dan logika manusiawi masih bisa menjadi hambatan besar dalam perjalanan iman kita. Kita perlu membebaskan diri dari pola pikir dunia yang bertentangan dengan kebenaran firman Allah. Tidak semua kebenaran ilahi dapat dijelaskan dengan logika manusia. Seperti yang dikatakan Yesus:
"Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya." (Yoh. 20:29)
Saat hidup terasa terguncang, saat pertolongan belum tampak, itulah waktu terbaik untuk menguji iman kita. Mari berdoa:
"Tuhan, tolonglah saya untuk tetap percaya kepada-Mu."
Di Puncak maupun di Lembah
📖 Lukas 23:50–56
Yusuf dari Arimatea, seorang anggota Sanhedrin yang terhormat, telah lama menantikan hadirnya Kerajaan Allah. Ia mengharapkan Yesus sebagai Mesias, Raja keturunan Daud yang dijanjikan. Namun harapannya seolah runtuh ketika ia menyaksikan Yesus disalibkan dan mati.
Di tengah kekecewaan dan realitas yang tidak sesuai dengan ekspektasinya, Yusuf tidak membiarkan rasa kecewa menguasai hatinya. Ia justru mengambil langkah berani: ia menghormati Yesus dengan memberikan makam barunya untuk tempat peristirahatan terakhir Sang Raja Yahudi.
"Ia pergi menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus." (ay. 52)
📌 Menghormati Allah di Segala Keadaan
Dari Yusuf kita belajar: saat situasi tidak berjalan sesuai keinginan kita, tetaplah hormat kepada Tuhan. Rasa hormat tidak boleh bergantung pada suasana hati atau keadaan sekitar. Sama seperti perempuan yang meminyaki tubuh Yesus sebelum kematian-Nya (Mrk. 14:8; Mat. 26:12), kita dipanggil untuk menghormati Allah di setiap kesempatan, bahkan ketika keadaan tampak suram.
Perasaan familier kadang bisa mengikis rasa hormat. Karena itu, kita perlu menjaga hati agar tidak memperlakukan Allah dengan sikap biasa-biasa saja. Baik saat iman kita berada di puncak maupun di lembah kehidupan, Allah tetap layak dihormati dengan seluruh keberadaan kita.
📌 Setiap Kesempatan Adalah Waktu untuk Memuliakan Allah
Nasib manusia bisa berubah, suasana hati bisa naik-turun, namun kemuliaan Allah tetap kekal. Hari ini, tanyakan pada diri sendiri:
"Kebaikan apa yang dapat saya lakukan untuk memuliakan Yesus?"
Tidak perlu menunggu panggung atau sorotan. Kebajikan yang tersembunyi dilihat oleh Allah, dan Ia yang dalam kasih-Nya akan membalas setiap tindakan yang lahir dari hati yang menghormati Dia (bdk. Mat. 6:6, 18).