Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar: gema suara ilahi
Tampilkan postingan dengan label gema suara ilahi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gema suara ilahi. Tampilkan semua postingan

Firman Tuhan : "Menjaga Diri Sendiri"

Manusia sering kali mencoba menebak masa depan dengan berbagai cara: mempelajari tanda-tanda alam, mengikuti ramalan, atau berpegang pada pola kejadian. Namun, tak satu pun dari kita benar-benar tahu apa yang akan terjadi. Ketidakpastian hidup justru mengingatkan kita akan pentingnya berjaga-jaga — sebab kesiapan adalah kunci agar kita tidak terkejut oleh apa pun yang datang.

Hal yang sama berlaku untuk janji kedatangan Yesus Kristus yang kedua kali. Tak ada seorang pun yang tahu waktunya, bahkan para malaikat pun tidak. Namun, Yesus menegaskan bahwa waktu itu pasti akan datang. Karena itu, Ia mengingatkan kita untuk selalu hidup dalam kesiapan rohani. Ia menunjukkan tanda-tanda akhir zaman dan memberikan pengharapan bahwa penyelamatan kita sudah dekat (ayat 28).

Kesiapan rohani bukan berarti kita hanya menunggu tanpa melakukan apa pun. Sebaliknya, itu berarti hidup dengan hati yang waspada setiap hari. Kita harus menjaga diri agar tidak terjebak dalam godaan dunia yang dapat melemahkan iman. Dunia menawarkan kesenangan, kenyamanan, dan kenikmatan sesaat — hal-hal yang bisa membuat kita lupa pada Tuhan dan lalai akan panggilan kekal kita.

Yesus menasihati kita untuk tetap berdoa dan berjaga-jaga. Doa adalah nafas iman yang menjaga kita tetap kuat. Melalui doa, kita mendapat hikmat untuk mengambil keputusan yang benar dan kekuatan untuk melawan godaan. Tanpa doa, kita mudah terseret oleh arus dunia dan kehilangan arah rohani.

Firman Tuhan adalah pelita bagi jalan hidup kita. Dunia bisa berubah, tetapi firman Tuhan tidak akan berlalu (ayat 33). Karena itu, jadikan firman sebagai dasar setiap langkah hidup. Dengan begitu, kita tidak akan mudah goyah sekalipun dunia di sekitar kita penuh keguncangan.

🌿 Ilustrasi

Bayangkan seorang pengemudi mobil yang berkendara di malam hari. Ia tahu bahwa di depan mungkin ada jalan berlubang atau tanjakan curam, tapi ia tetap melaju dengan penuh kewaspadaan. Ia menyalakan lampu utama agar jalannya terang dan tetap fokus memegang kemudi.
Begitu juga dengan kehidupan rohani kita. Firman Tuhan adalah cahaya yang menerangi jalan kita di tengah kegelapan dunia. Selama kita terus berjaga dan berdoa, Tuhan akan menuntun langkah kita sampai tujuan akhir — keselamatan kekal bersama-Nya.

🙏 Doa

Tuhan Yesus, ajarlah kami untuk selalu berjaga-jaga dan tidak terlena oleh kesenangan dunia. Berilah kami kekuatan untuk hidup dalam ketaatan dan kesetiaan kepada-Mu setiap hari. Jadikan hati kami peka terhadap kehendak-Mu dan teguhkan iman kami agar tetap berdiri kokoh sampai Engkau datang kembali.
Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa.
Amin.

Share:

Firman Tuhan : "Tetap Teguh Bersama Allah"

Tetap Teguh Bersama Allah

Yerusalem — kota yang dahulu menjadi kebanggaan umat Israel dan simbol kehadiran Allah — pada akhirnya harus mengalami kehancuran. Yesus menubuatkan masa sulit itu sebagai konsekuensi dari ketidaktaatan umat-Nya. Kota yang dulu menjadi pusat penyembahan kini berubah menjadi tempat penderitaan dan tangisan.

Namun, di balik nubuat tentang kehancuran itu, Yesus tidak meninggalkan umat-Nya tanpa pengharapan. Ia mengingatkan mereka untuk tetap waspada, peka terhadap tanda-tanda zaman, dan menaati firman Tuhan. “Apabila kamu melihat Yerusalem dikepung oleh tentara-tentara, ketahuilah bahwa keruntuhannya sudah dekat” (ayat 20). Mereka yang mendengar dan menaati peringatan itu diminta segera bertindak — meninggalkan kota dan mencari perlindungan.

Ketaatan pada firman Tuhan menjadi kunci penyelamatan. Dalam situasi krisis, tindakan yang cepat dan tepat sering kali hanya dapat dilakukan oleh mereka yang benar-benar peka terhadap suara Tuhan. Tuhan tidak pernah membiarkan umat-Nya tanpa arah. Ia selalu memberi jalan keluar bagi mereka yang bersandar kepada-Nya.

Pesan ini juga berlaku bagi kita saat ini. Dunia yang kita tinggali penuh dengan tantangan dan gejolak: bencana alam, penyakit, tekanan hidup, bahkan kekerasan dan ketidakadilan. Semua itu mudah membuat kita takut, putus asa, atau merasa ditinggalkan Tuhan. Namun, Yesus mengingatkan kita untuk tetap teguh. Ia hadir di tengah badai kehidupan kita.

Ketika kita setia dan berpegang pada firman Tuhan, kita sedang membangun kehidupan di atas dasar yang kokoh. Dunia mungkin berubah, tetapi kasih dan kuasa Tuhan tidak pernah goyah. Ia menuntun langkah kita dengan hikmat-Nya. Dalam setiap air mata, kesedihan, dan perjuangan, Tuhan bekerja untuk kebaikan kita.

Karena itu, jangan biarkan ketakutan menguasai hati kita. Jangan berpaling dari Tuhan hanya karena keadaan tidak sesuai harapan. Justru di saat gelap, iman kita diuji dan dimurnikan. Biarlah setiap kesulitan menjadi kesempatan untuk belajar percaya lebih dalam dan bersandar lebih erat kepada Tuhan.

🕊️ Doa

Tuhan, di tengah dunia yang penuh kekacauan dan ketidakpastian, Engkau tetap Allah yang setia. Kuatkan kami agar tidak mudah goyah. Beri kami keberanian untuk menaati firman-Mu, bahkan ketika keadaan tampak sulit. Tuntun langkah kami dengan hikmat dan kasih-Mu, supaya kami tetap teguh berjalan bersama-Mu hingga akhir.
Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.

Share:

Firman Tuhan : " Bertahan dalam Iman "

Bertahan dalam Iman

Dalam dunia yang penuh ketidakpastian, banyak hal dapat menggoyahkan iman kita. Berita tentang peperangan, bencana, dan kekacauan membuat hati resah. Tak jarang muncul pula orang-orang yang membawa ajaran menyesatkan sambil mengatasnamakan Tuhan. Semua ini bisa membuat kita bertanya-tanya: apa yang sedang terjadi dengan dunia ini?

Murid-murid Yesus pun memiliki kegelisahan yang sama. Mereka bertanya, “Guru, kapan semua itu akan terjadi? Apa tandanya, apabila itu akan terjadi?” (ayat 7). Pertanyaan itu lahir dari rasa takut akan masa depan — rasa takut yang juga sering kita alami saat melihat dunia yang kian tidak menentu.

Namun, Yesus tidak memberi mereka waktu pasti atau jawaban tentang “kapan”. Sebaliknya, Ia menegaskan, “Waspadalah, jangan kamu disesatkan!” (ayat 8). Yesus tahu, bahaya terbesar bukanlah peperangan, bukan bencana, melainkan hati yang kehilangan arah dan iman yang goyah.

Bertahan dalam iman tidak berarti kita bebas dari rasa takut atau kekhawatiran. Namun, Yesus mengajak kita untuk menatap lebih dalam — kepada Dia yang memegang kendali. Saat dunia tampak goyah, Yesus tetap setia. Ia berjanji, bahkan “sehelai rambut pun tidak akan hilang” tanpa seizin Bapa (ayat 18).

Iman yang teguh tidak diukur dari seberapa besar kita bisa menolak penderitaan, tetapi dari seberapa kuat kita tetap percaya di tengah badai kehidupan. Ketika kita tetap berdoa, tetap mengasihi, dan tetap setia meski keadaan sulit, sesungguhnya kita sedang menyatakan kuasa Allah dalam hidup kita.

Mari kita belajar meneladani Yesus yang bertahan dalam penderitaan dan tetap taat sampai akhir. Percayalah, setiap kesulitan yang kita hadapi bukanlah tanda bahwa Tuhan meninggalkan kita, tetapi kesempatan agar iman kita bertumbuh makin dewasa dan berakar kuat di dalam Dia.

🕊️ Doa

Tuhan Yesus, di tengah dunia yang penuh ketidakpastian ini, kuatkanlah iman kami. Ajari kami untuk tetap percaya, meski keadaan tidak menentu. Kami ingin belajar berserah sepenuhnya kepada-Mu, sebab kami tahu Engkau memegang kendali atas hidup kami. Jadikan kami saksi kasih dan keteguhan iman-Mu di mana pun kami berada.
Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa. Amin.

Share:

Hati-Hati terhadap Pengultusan

Lukas 21:5–6 

Bait Allah di Yerusalem adalah simbol kehadiran Tuhan di tengah umat. Wajar bila orang kagum dan ingin merawatnya. Namun Yesus memberi peringatan keras: segala sesuatu di dunia bisa runtuh — termasuk apa yang kita mudah “kultuskan”.

Renungan singkat

  • Pengultusan adalah ketika sesuatu yang hanya sarana rohani — bangunan, tradisi, gelar, tokoh — berubah menjadi tujuan akhir kita. Kita menyembah cara, bukan Sang yang kita tuju.

  • Ketika fokus kita bergeser dari Allah ke benda, ritual, status, atau reputasi gereja, kita kehilangan esensi ibadah: relasi hidup dengan Tuhan dan kasih kepada sesama.

  • Sejarah mencatat apa yang Yesus katakan: gedung bisa hancur, sistem bisa runtuh. Itu tidak mengurangi kedaulatan Tuhan — justru menegaskan bahwa yang kekal bukanlah bangunan tetapi hati yang mengenal dan memuliakan Allah.

Pertanyaan untuk hati (reflektif & komunikatif)

  1. Apa yang paling saya cari ketika saya datang ke gereja: hubungan dengan Tuhan atau rasa aman karena tradisi/gedung/gelar?

  2. Apakah saya pernah menilai iman orang lain dari tampilan luar (gedung, pakaian, organisasi) ketimbang buah hidup mereka?

  3. Dalam praktik, apakah kehidupan saya sehari-hari menunjukkan bahwa Tuhan lebih utama daripada hal-hal yang fana?

Aplikasi praktis (langkah kecil yang konkret)

  • Periksa rutinitas ibadah: apakah itu mengarah pada perubahan hati dan kasih nyata kepada tetangga? Jika tidak, ubahlah sedikit demi sedikit.

  • Jaga keseimbangan: hargai sarana (gedung, liturgi, pemimpin) — tetapi jangan biarkan mereka menggantikan doa, Alkitab, dan pelayanan kasih.

  • Evaluasi prioritas keuangan dan waktu: apakah lebih banyak untuk menjaga citra atau untuk membantu sesama dan misi Kerajaan?

Pokok Doa

  • Syukur atas kasih dan penyertaan Tuhan yang tidak tergantung gedung atau ritual.

  • Doa supaya gereja dan saudara-saudara dipelihara dari pengultusan terhadap benda, tradisi, atau manusia.

  • Doa untuk hati yang rendah, ingin memuliakan Tuhan saja dan melayani sesama tanpa pamrih.

  • Berkat bagi keluarga, pekerjaan, usaha, studi, ladang, toko, pelayanan, dan semua kebutuhan jemaat.

  • Doa pengharapan bagi mereka yang sedang ragu, terluka, atau tergoda mengultuskan sesuatu yang fana.

Doa Penutup

Tuhan Bapa yang penuh kasih,
kami bersyukur Engkau lebih besar dari segala bangunan, tradisi, dan nama. Maafkan kami ketika hati kami berpaling kepada yang fana. Ajarkan kami menempatkan Engkau di pusat hidup kami: dalam doa, perkataan, dan perbuatan. Buka mata kami melihat saat kami mulai mengultuskan sesuatu yang bukan Engkau. Kembalikan kerendahan hati kami, perkuat kerinduan kami untuk mengenal-Mu lebih dalam, dan tuntunlah kami untuk memakai berkat-berkat yang Engkau beri demi kasih kepada sesama.

Kiranya gereja kami menjadi tempat yang memuliakan Engkau, bukan sekadar megah secara lahiriah. Kiranya hidup kami menjadi saksi bahwa hanya Engkaulah yang layak disembah. Kami serahkan semua ini dalam nama Yesus Kristus, yang hidup dan berkuasa kini dan selamanya. Amin.

Share:

💛 Mempersembahkan yang Terbaik

Mempersembahkan yang Terbaik. Firman Tuhan mengajarkan dari janda miskin: memberi bukan soal jumlah, tapi ketulusan dan iman pada pemeliharaan Tuhan. Berikan yang terbaik tanpa rasa takut!

Lukas 21:1-4

Persembahan bukan sekadar rutinitas ibadah, tetapi ungkapan syukur kita atas kebaikan Tuhan. Kalau kita mau jujur, berkat Tuhan dalam hidup kita tak terhitung banyaknya. Namun, masih ada di antara kita yang memberi dengan hati ragu—takut kekurangan, takut kehilangan.

Hari ini kita belajar dari seorang janda miskin. Ia tidak punya banyak, tapi dengan iman yang besar, ia memberikan dua peser—semua yang dimilikinya. Ia percaya, Tuhan sanggup memelihara hidupnya. Itulah persembahan yang berharga di mata Tuhan: bukan karena jumlahnya besar, melainkan karena kasih dan iman yang tulus di baliknya.

Tuhan tidak melihat besar kecilnya nominal, tetapi seberapa besar hati yang rela kita persembahkan kepada-Nya. Janda miskin itu tidak memberi dari kelebihan, tetapi dari kekurangannya. Dan di situlah letak keindahan imannya.

Mari kita belajar untuk mempersembahkan yang terbaik kepada Tuhan—bukan karena terpaksa, tapi karena cinta. Serahkanlah kekhawatiran kita kepada-Nya, sebab Tuhan yang sama juga sanggup memelihara hidup kita hari ini dan selamanya.

🙏 Doa:
Tuhan, ajar kami untuk memberi dengan hati yang penuh syukur. Singkirkan rasa takut dan hitung-hitungan dalam memberi. Biarlah setiap persembahan kami menjadi ungkapan kasih dan iman kami kepada-Mu. Amin.

Share:

Firman Tuhan : Tetap Waspada dan Bersikap Kritis

Kita hidup di zaman yang penuh pencitraan. Banyak orang menampilkan diri seolah-olah rohani, sukses, dan berhikmat. Namun, apa yang terlihat belum tentu menunjukkan siapa mereka sebenarnya. Dunia maya, misalnya, membuat hal itu semakin mudah. Orang bisa tampak begitu saleh lewat unggahan rohani, tetapi kehidupannya jauh dari nilai-nilai Kristiani.

Yesus pun melihat hal serupa di zamannya. Ia memperingatkan murid-murid-Nya agar waspada terhadap ahli-ahli Taurat — para pemuka agama yang pandai berbicara dan tampak suci, tetapi berhati serigala (ayat 46). Mereka senang pamer jubah panjang agar dihormati, duduk di tempat terdepan di sinagoge, dan berdoa panjang supaya dipuji. Padahal, hati mereka penuh keserakahan. Mereka bahkan menindas para janda, kelompok lemah yang justru seharusnya mereka lindungi (ayat 47).

💡 Ilustrasi :
Kita bisa membayangkan seseorang yang rajin memimpin doa di gereja atau aktif dalam pelayanan, tetapi diam-diam memperalat orang lain demi keuntungan pribadi. Ia berbicara tentang kasih Tuhan, tetapi tidak berbelas kasih terhadap orang yang kesusahan. Inilah bentuk kemunafikan yang Yesus kecam.

Yesus tidak sedang mengajak kita untuk mencurigai semua orang, melainkan untuk waspada dan berpikir kritis. Jangan mudah terpesona oleh penampilan luar. Nilailah seseorang dari buah kehidupannya — dari kerendahan hatinya, kejujurannya, dan kesungguhannya melayani Tuhan tanpa pamrih.

Namun, renungan ini tidak hanya berbicara tentang “mereka”, melainkan juga tentang kita. Apakah kita pernah beribadah hanya agar dilihat orang lain? Apakah kita pernah bersikap manis di depan, tetapi memiliki motivasi tersembunyi? Tuhan melihat sampai ke kedalaman hati. Dia tidak tertipu oleh doa panjang, senyum hangat, atau pakaian rohani. Yang Tuhan cari adalah ketulusan.

Mari kita belajar beriman dengan hati yang jujur dan bersih — tidak untuk dilihat, tapi untuk memuliakan Tuhan.

Refleksi

  • Apakah selama ini aku menilai orang lain hanya dari penampilan luarnya?

  • Apakah dalam beribadah dan melayani aku sungguh-sungguh tulus untuk Tuhan, bukan demi pujian manusia?

  • Apakah aku sudah berhati-hati agar tidak terjebak dalam pencitraan rohani?

Doa

Tuhan Yesus,
Engkau tahu isi hati kami lebih dari siapa pun. Ampunilah kami jika kami sering menilai orang hanya dari luarnya, atau ketika kami sendiri berusaha tampil saleh di depan orang lain.
Ajarlah kami untuk memiliki hati yang jujur, murni, dan rendah hati.
Tolong kami agar tetap waspada dan berhikmat dalam melihat dunia ini, supaya kami tidak mudah tertipu oleh penampilan, tetapi selalu berpijak pada kebenaran-Mu.
Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa.
Amin.



Share:

Firman Tuhan 📖 “Mewarisi Karakter Bapa”

“Mewarisi Karakter Bapa”
Yesus lebih dari Anak Daud, Ia adalah Tuhan Daud! Ia mewarisi karakter Bapa—kasih, sabar, dan taat—menghadirkan Kerajaan Allah. Cerminkan firman Tuhan lewat hidupmu! 
Peribahasa “buah jatuh tak jauh dari pohonnya” tentu sudah akrab di telinga kita. Biasanya, ini digunakan untuk menggambarkan kemiripan anak dengan orang tuanya — baik dari kebiasaan, sifat, atau cara berpikirnya.

Yesus sering disebut sebagai keturunan Daud. Dalam Matius 1:1–17, silsilah Yesus memang menunjukkan garis keturunan Daud. Bagi orang Yahudi, ini penting karena mereka percaya bahwa Mesias akan datang dari keturunan Daud — seorang raja besar yang dikagumi sepanjang masa.

Namun, Yesus menegaskan bahwa Mesias bukan hanya “Anak Daud”, tetapi Tuhan atas Daud (ayat 44). Artinya, Mesias jauh lebih besar daripada sekadar penerus kerajaan Daud. Kuasa-Nya ilahi, bukan politik. Sayangnya, banyak orang waktu itu lebih menghormati figur Daud daripada Sang Mesias yang sudah hadir di tengah-tengah mereka.

Yesus tidak mewarisi karakter Daud — karena Daud adalah manusia yang juga penuh kelemahan. Yesus justru mewarisi karakter Bapa, penuh kasih, sabar, dan taat sampai akhir. Ia hadir bukan untuk membangun kekuasaan duniawi, melainkan untuk menghadirkan kerajaan Allah — kerajaan kasih, kebenaran, dan damai sejahtera.

💡 Ilustrasi :
Bayangkan seorang anak yang lebih dikenal karena nama besar ayahnya. Semua orang membandingkan dia dengan sang ayah: “Apakah dia sehebat ayahnya?” Namun, anak itu memilih untuk hidup sesuai panggilannya sendiri, bukan sekadar meniru ayahnya. Begitu juga Yesus — Ia tidak sekadar meneruskan kejayaan Daud, tetapi menghadirkan kasih dan kebenaran Bapa di bumi.

Sebagai anak-anak Allah, kita pun dipanggil untuk mewarisi karakter Bapa, bukan hanya nama-Nya. Dunia mengenal kita bukan dari apa yang kita katakan, tetapi dari bagaimana kita hidup. Saat kita bersabar, mengampuni, dan mengasihi — dunia melihat cerminan Bapa di dalam diri kita.

Mari renungkan:
Apakah hidup kita sudah mencerminkan karakter Bapa?
Apakah orang lain bisa merasakan kasih, kesetiaan, dan pengampunan Allah melalui tindakan kita setiap hari?

Doa👏
Bapa di surga, kami bersyukur karena Engkau mengutus Yesus Kristus untuk menunjukkan kasih dan kebenaran-Mu.

Tolong kami agar hidup kami memantulkan karakter-Mu — dalam tutur kata, sikap, dan perbuatan kami.
Jadikan kami anak-anak-Mu yang hidup dalam kasih, kejujuran, dan kerendahan hati.
Di dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa.
Amin.

Share:

🔥 Firman Tuhan : Iman terhadap Kebangkitan

Di dunia yang terus bergerak cepat — dengan teknologi, data, dan kecepatan hidup — ada satu kebenaran yang tak pernah berubah: Yesus telah bangkit.

Kita sering membayangkan kebangkitan seperti film aksi: tubuh keluar dari kubur, cahaya menyala. Tapi Firman Tuhan menawarkan gambaran yang lebih dalam: kehidupan setelah kematian bukan kelanjutan dunia ini. Tidak ada kawin, tidak ada kematian, tidak ada rasa lelah. Hidup dalam keabadian, seperti malaikat, di hadirat Allah (Lukas 20:35–36).

Kaum Saduki mencoba menghancurkan iman dengan logika. Tapi Yesus menjawab: “Dalam kebangkitan, orang tidak menikah…” — karena kehidupan yang sungguh-sungguh dimulai setelah kematian.

💬 "Jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah iman kita." — 1 Korintus 15:14

Di tengah ketidakpastian masa kini — krisis, kematian, rasa kehilangan — Yesus adalah jaminan hidup abadi. Ia bukan hanya berbicara tentang kebangkitan. Ia adalah kebangkitan itu sendiri.

Bukan lagi soal percaya secara logis. Tapi soal beriman secara utuh.

Ia yang mati di kayu salib, kini hidup di surga. Ia yang dikubur, kini menang atas maut. Dan satu hari nanti: kita juga akan bangkit bersama Dia.

“Aku adalah kebangkitan dan hidup.” — Yohanes 11:25

🖼️ Ilustrasi modern: Seorang pria muda duduk di bawah pohon yang menyerupai kabel fiber optik, menatap layar ponsel yang redup. Di kejauhan, cahaya dari surga menyala seperti koneksi internet yang tak terputus. Kebangkitan bukan sekadar peristiwa di masa lalu — tapi jaringan kehidupan abadi yang terhubung kini, dan tetap hidup selamanya.

📌 Renungan untuk hari ini: Jika iman kita hanya mengandalkan logika, kita akan seperti kaum Saduki. Tapi jika kita beriman kepada Yesus — yang telah bangkit — maka kita hidup dalam harapan yang tak bisa mati.

Kebangkitan bukan soal masa lalu. Ia adalah janji untuk masa depan kita — dan kini, kau sedang berada di dalamnya. 💫

Share:

Firman Tuhan : Cerdaslah (Hikmat)

Apakah perikop ini digunakan untuk menegaskan bahwa orang Kristen harus membayar pajak? Ya, orang Kristen memang perlu membayar pajak — itu bagian dari tanggung jawab sebagai warga negara. Tetapi, apakah ayat ini berbicara tentang itu? Belum tentu. Kita perlu melihat konteksnya.

Pada masa itu, pajak kepada Kaisar Roma adalah simbol penjajahan. Uang pajak dipakai untuk membiayai tentara yang menindas bangsa Israel. Jadi, membayar pajak berarti mendukung penindasan, tetapi menolak berarti memberontak kepada kekaisaran. Inilah dilema besar rakyat Yahudi — dan inilah yang dipakai para tokoh agama untuk menjebak Yesus.

Jika Yesus berkata “bayarlah pajak kepada Kaisar”, rakyat akan membenci-Nya.
Jika Yesus berkata “jangan bayar pajak”, mereka akan menuduh-Nya memberontak melawan Roma.
Apa pun jawabannya, Yesus akan jatuh.

Namun, Yesus tidak terjebak. Dengan penuh hikmat, Ia meminta mereka menunjukkan mata uang pajak — denarius — dan bertanya: “Gambar dan tulisan siapa di sini?” Mereka menjawab: “Kaisar.” Maka Yesus berkata:

“Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah.” (ayat 25)

Sebuah jawaban yang begitu sederhana, tetapi sangat dalam.
Yesus tidak sedang bicara soal kewajiban pajak semata. Ia sedang menyingkapkan kepalsuan dan kelicikan hati manusia yang ingin menjerat-Nya. Ia menegaskan bahwa manusia tidak boleh mencampuradukkan apa yang menjadi milik dunia dengan apa yang menjadi milik Allah.

💡 Ilustrasi :
Bayangkan seseorang yang berdebat di media sosial tentang pajak, politik, atau keadilan. Banyak orang sibuk membuktikan siapa yang benar, siapa yang salah — tetapi sedikit yang benar-benar berani hidup jujur, adil, dan penuh kasih.
Yesus tidak mau terseret dalam permainan debat semu. Ia menunjukkan hikmat surgawi — bukan sekadar pintar berbicara, melainkan bijak dalam membaca hati manusia dan menolak manipulasi.

Yesus ingin pengikut-Nya memiliki hikmat yang lahir dari kebenaran dan kasih. Hikmat yang tidak membalas kelicikan dengan kelicikan, tetapi dengan kecerdasan yang penuh kasih.
Hikmat yang tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam.
Hikmat yang berani menghadapi kejahatan, tetapi tetap berakar pada kebaikan.

  • Apakah kita menggunakan kecerdasan untuk menipu atau untuk melayani Tuhan?

  • Apakah kita bijak dalam menyikapi persoalan dunia, atau mudah terseret dalam permainan orang yang ingin menjatuhkan kita?

Mari kita belajar dari Yesus yang tidak membalas kejahatan dengan kelicikan, tetapi dengan hikmat yang kudus.
Cerdaslah, bukan hanya agar kita selamat dari jebakan manusia, tetapi supaya hidup kita memuliakan Tuhan.

Doa

Tuhan, berilah kami hikmat surgawi seperti yang Engkau miliki.
Ajarlah kami berpikir jernih, berbicara dengan kasih, dan bertindak dengan benar.
Jauhkan kami dari kelicikan dan tipu daya dunia ini.
Biarlah kecerdasan kami menjadi alat untuk menyatakan kebenaran dan kasih-Mu.
Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa.
Amin.

Share:

"Firman Tuhan" : Manusia Bukanlah Benda

Firman Tuhan: Dunia modern sering mereduksi manusia menjadi alat. Renungan ini mengingatkan: manusia bukan benda yang dihargai karena fungsi/manfaat, tapi ciptaan berharga yang layak dikasihi dan dihormati martabatnya.
Lukas 20:9–19
Di zaman modern ini, manusia sering dipandang bukan sebagai pribadi, melainkan sebagai alat. Dunia kerja menilai seseorang dari seberapa besar “kontribusi” dan “produktivitas”-nya. Di media sosial, orang dihargai dari jumlah pengikut dan suka yang dimiliki. Bahkan dalam pertemanan, ada yang menjalin hubungan karena “ada maunya”. Tanpa sadar, kita hidup di tengah budaya yang memperlakukan sesama seperti benda — digunakan saat menguntungkan, lalu dilupakan ketika tak lagi bermanfaat.

Inilah realitas yang juga diungkap Yesus dalam perumpamaan tentang para penggarap kebun anggur. Para ahli Taurat dan imam kepala digambarkan seperti pekerja yang tidak tahu berterima kasih. Mereka menikmati hasil kebun, tetapi menolak memberi bagian kepada pemilik yang sah (ayat 10).

Sang tuan bersabar luar biasa — ia mengutus hambanya tiga kali untuk menagih haknya. Tetapi, para penggarap malah menganiaya dan membunuh mereka (ayat 12). Bahkan ketika anak sang tuan sendiri diutus, mereka tetap tega membunuhnya demi menguasai kebun itu (ayat 15).

Yesus menyampaikan kisah ini sebagai peringatan keras bagi para pemimpin agama yang telah kehilangan kasih dan nurani. Mereka sibuk mempertahankan posisi dan pengaruh, sampai rela meniadakan kebenaran dan mengorbankan orang lain.

Pesan Yesus tetap relevan hingga kini. Dunia modern memuja efisiensi dan hasil — tetapi Tuhan mengingatkan kita: manusia bukanlah mesin, melainkan makhluk yang memiliki martabat dan kasih.

💡 Ilustrasi Modern:
Bayangkan seorang pegawai yang bekerja keras, memberi yang terbaik, tetapi begitu usianya menua, ia “dipensiunkan” tanpa penghargaan. Atau seorang teman yang hanya dicari saat butuh bantuan, lalu dilupakan setelahnya.
Budaya seperti ini membuat manusia hanya dihargai karena fungsinya, bukan karena keberadaannya. Padahal, Allah tidak memandang manusia dari seberapa bergunanya dia, melainkan karena setiap manusia adalah ciptaan-Nya yang berharga.

Renungan ini mengajak kita bertanya dengan jujur:

  • Apakah saya menghargai orang lain karena mereka berharga di mata Tuhan, atau karena mereka berguna bagi saya?

  • Apakah saya memandang sesama dengan kasih, atau dengan kacamata kepentingan pribadi?

Mari kita belajar dari Yesus yang tidak memperlakukan siapa pun sebagai alat, melainkan sebagai pribadi yang dikasihi.
Manusia bukanlah benda, bukan sumber daya, bukan objek.
Manusia adalah ciptaan Allah — yang pantas dikasihi, dihormati, dan dijaga martabatnya.

Doa

Tuhan yang penuh kasih, ampunilah kami jika kami pernah memperlakukan sesama sebagai alat untuk kepentingan kami sendiri.
Ajarlah kami melihat setiap orang sebagai pribadi yang Engkau ciptakan dengan kasih dan tujuan ilahi.
Bentuklah hati kami agar selalu menghargai, mengasihi, dan melayani sesama sebagaimana Engkau mengasihi kami.
Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa.
Amin.

Share:

Firman Tuhan : Punya “Orang Kuat”

Lukas 20:1–8

Punya relasi dengan “orang kuat” sering dianggap sebuah kebanggaan. Banyak orang merasa lebih tenang bila di belakangnya ada sosok berkuasa — entah karena jabatan, uang, atau pengaruh. Kalau ada masalah, orang kuat itu bisa diandalkan. Orang lain pun akan berpikir dua kali untuk berurusan dengan dirinya.

Mungkin hal inilah yang ada di benak para imam kepala, ahli Taurat, dan tua-tua di Bait Allah. Mereka melihat Yesus berani mengajar dan bertindak dengan otoritas besar. Maka mereka bertanya-tanya, “Siapa orang kuat di balik Yesus?” Jika Yesus hanya seorang biasa, dari mana datangnya kuasa sebesar itu?

Pertanyaan mereka tampak sopan, tetapi sebenarnya penuh jebakan. Mereka bukan sungguh ingin tahu, melainkan ingin mencari celah untuk menjatuhkan-Nya. Namun Yesus tahu isi hati mereka. Ia tidak terpancing menjawab, melainkan justru mengembalikan pertanyaan itu agar mereka merenung sendiri.

Dengan hikmat, Yesus membalikkan keadaan. Ia ingin menyadarkan mereka bahwa hidup dengan tipu muslihat hanya akan membuat hati gelisah dan takut. Orang yang selalu ingin menjatuhkan orang lain sesungguhnya sedang menggali lubang untuk dirinya sendiri.

Yesus menunjukkan bahwa otoritas sejati tidak berasal dari manusia, tetapi dari Allah. Ia tidak membutuhkan “orang kuat” untuk menopang-Nya, karena Ia sendiri bersandar sepenuhnya kepada Bapa.

Renungan ini mengingatkan kita:

  • Jangan menilai seseorang dari siapa “orang kuat” di belakangnya, tetapi dari integritas dan kebenaran hidupnya.

  • Jangan menggunakan kecerdikan untuk menjatuhkan orang lain, tetapi untuk membangun dan menyatakan kasih Allah.

  • Percayalah, orang yang berpihak pada kebenaran selalu berada di sisi Allah — dan Dialah satu-satunya “Orang Kuat” sejati dalam hidup kita.

Ketika kita berjalan bersama Tuhan, kita tak perlu mencari perlindungan manusia. Ia yang Mahakuasa adalah sandaran paling kokoh.


Doa

Tuhan, kami sering tergoda mencari perlindungan pada manusia yang berkuasa. Ampunilah kami bila lebih mengandalkan kekuatan dunia daripada kuasa-Mu. Ajarilah kami untuk hidup jujur, rendah hati, dan bersandar hanya pada-Mu. Jadikan kami pembawa kasih, bukan pembuat tipu daya. Engkaulah satu-satunya “Orang Kuat” kami — yang tak pernah gagal menolong dan melindungi. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.

Share:

Firman Tuhan : Brutalnya Tokoh Agama

Brutalnya tokoh agama di Bait Allah (Lukas 19:45–48). Mereka jadikan rumah doa sarang penyamun demi untung. Firman Tuhan menyingkap kemunafikan!
Lukas 19:45–48
Kejahatan yang paling mengerikan adalah ketika ia dilakukan di tempat paling sakral dan oleh orang-orang yang dianggap suci. Inilah yang terjadi di Bait Allah. Para imam kepala, ahli Taurat, dan orang-orang terkemuka di Israel berusaha mengakhiri hidup Yesus (ay. 48).

Mengapa? Karena Yesus mengguncang kenyamanan mereka. Ia menyingkap dosa yang selama ini ditutupi oleh jubah religius. Pelataran Bait Suci, tempat yang seharusnya dipakai bangsa-bangsa lain berdoa kepada Allah, malah mereka jadikan ajang bisnis demi keuntungan diri (ay. 45–46). Yesus menegur keras mereka: “Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun!”

Bayangkan, teguran Yesus bukan ditanggapi dengan pertobatan, melainkan dengan rencana pembunuhan. Orang-orang yang paling dihormati justru berusaha menyingkirkan Dia. Betapa ironisnya! Bait Allah yang semestinya suci ternodai, bukan oleh bangsa asing, melainkan oleh tokoh agamanya sendiri.

Renungan ini mengingatkan kita:

  1. Bahaya kekuasaan agama. Ketika jabatan rohani lebih dipandang sebagai alat kuasa, maka yang seharusnya melayani umat justru memperalat umat demi keuntungan diri.

  2. Hati yang keras. Teguran Yesus bukannya melembutkan hati, malah memicu kebencian. Demikian juga kita, bisa saja ketika firman menegur, kita justru menolak dan mencari pembenaran diri.

  3. Ibadah yang murni. Tuhan tidak mencari gedung megah, liturgi indah, atau kegiatan ramai bila hati umat-Nya penuh kemunafikan. Tuhan mencari hati yang tulus, doa yang sungguh, dan hidup yang mau diubah.

Yesus tetap mengajar di Bait Allah (ay. 47), artinya Ia tidak mundur menghadapi kebusukan agama. Dia hadir untuk menegakkan kebenaran meski berhadapan dengan kuasa yang mengerikan.

Mari kita bercermin. Apakah kita juga kadang menyalahgunakan iman untuk kepentingan diri? Apakah pelayanan kita sungguh memuliakan Tuhan atau sekadar demi nama baik, posisi, atau keuntungan pribadi?


Doa

Ya Tuhan, ampunilah bila hati kami sering keras menolak teguran-Mu. Tolong kami agar tidak terjebak dalam kemunafikan rohani. Jadikanlah kami umat yang tulus, yang memuliakan nama-Mu, bukan diri kami sendiri. Ajari kami hidup dalam kebenaran, meski harus melawan arus dunia. Biarlah hidup kami menjadi rumah doa, bukan sarang penyamun. Dalam nama Yesus Kristus, Sang Kebenaran, kami berdoa. Amin.

Share:

Pahlawan Murung

Hancur hatiku melihat pahlawan murung, kini ia kembali berjuang dengan firman Tuhan untuk mengembalikan harapan yang hilang.
Lukas 19:28–44

Setiap orang pasti rindu hadirnya “pahlawan” ketika hidup terasa berat. Sama seperti bangsa Israel yang menantikan seorang pahlawan gagah perkasa, seperti Yudas Makabeus yang dulu melawan tirani Yunani. Maka, ketika Yesus masuk Yerusalem dengan mukjizat-mukjizat-Nya yang menggemparkan, rakyat menyambut-Nya dengan sorak-sorai dan daun palem. Mereka berharap Yesus akan memimpin perlawanan melawan Roma.

Namun yang ganjil: pahlawan yang mereka nantikan datang bukan dengan kuda perang, melainkan dengan keledai muda—simbol kesederhanaan (ay. 36). Dan lebih mengejutkan lagi, Yesus justru menangis melihat Yerusalem (ay. 41). Ia tahu kota itu akan hancur, dan Ia pun sadar misi-Nya bukan untuk memenuhi harapan politik rakyat, melainkan menyelamatkan dunia lewat salib.

Yesus adalah pahlawan sejati—bukan dengan pedang dan kekuatan, melainkan dengan kasih, pengorbanan, dan air mata. Kadang kita pun ingin Yesus menolong dengan cara spektakuler: menghapus masalah, mengubah keadaan seketika. Tetapi Ia sering bekerja dengan cara yang berbeda—lebih dalam, lebih menyentuh hati, bahkan sering di luar pengertian kita.

Refleksi

  • Apakah kita mau menerima Yesus apa adanya, atau hanya Yesus sesuai harapan kita?

  • Apakah kita berani percaya pada rencana-Nya meski tidak sesuai keinginan kita?

  • Mari membuka hati, memberi ruang bagi Sang Pahlawan sejati berkarya sesuai kehendak-Nya.


Doa Penutup

“Tuhan Yesus, Engkau adalah Pahlawan sejati yang datang bukan dengan pedang, tetapi dengan kasih dan air mata. Ampuni kami yang sering memaksakan kehendak agar Engkau bekerja sesuai harapan kami. Ajari kami untuk percaya, meski karya-Mu tak selalu sesuai keinginan kami. Biarlah Engkau bebas berkarya dalam hidup kami, sebab rencana-Mu lebih indah daripada yang dapat kami pikirkan. Dalam nama Yesus, Sang Pahlawan sejati, kami berdoa. Amin.”

Share:

Saling Memanfaatkan

Persahabatan sejati, saling menguatkan, berdasarkan firman Tuhan, bukan saling memanfaatkan.
Lukas 19:11–27

Di dalam film The Greatest Showman, P.T. Barnum digambarkan sebagai pebisnis yang memanfaatkan orang-orang “freak” (berbeda rupa) demi keuntungan diri. Anehnya, meskipun sadar dimanfaatkan, mereka berkata: “Ia memanipulasi kelainan kami, tetapi kami menemukan keluarga.” Ternyata ada orang-orang yang rela dimanfaatkan, asalkan mereka juga mendapatkan manfaat dari relasi itu.

Yesus menceritakan perumpamaan tentang uang mina menjelang Ia dielu-elukan di Yerusalem. Perumpamaan ini menggambarkan seorang bangsawan yang berkuasa, tetapi dibenci rakyatnya (ay. 12–13). Sikapnya jelas bukan gambaran seorang pemimpin yang adil. Ia menuntut keuntungan dari hambanya, dan bahkan menghukum mereka yang menolak mengikuti kehendaknya.

Salah satu hamba dengan berani memilih tidak melipatgandakan uang tuannya, karena ia tahu betul sifat tuannya yang keras dan kejam (ay. 20–21). Di akhir cerita, bangsawan itu bertindak lebih bengis lagi: ia memerintahkan supaya semua musuhnya dibunuh di hadapannya (ay. 27).

Yesus memakai perumpamaan ini untuk membuka mata murid-murid-Nya. Bangsawan itu melambangkan para penguasa culas pada zaman itu—pemimpin yang menghalalkan segala cara demi mempertahankan kekuasaan. Tidak lama lagi, Yesus sendiri akan menjadi korban ketidakadilan dari penguasa semacam itu. Namun, alih-alih melawan dengan kekerasan, Yesus memilih berdiri bersama orang-orang tertindas, bahkan rela mati demi menegakkan kebenaran Allah.

Pelajaran bagi kita

  • Dunia terbiasa dengan sistem “saling memanfaatkan”. Tetapi Yesus mengajarkan kita untuk berdiri di pihak mereka yang tidak punya suara.

  • Kekuasaan sering dipakai untuk menekan. Namun Yesus meneladankan keberanian untuk menanggung ketidaknyamanan, bahkan penderitaan, demi kebenaran.

  • Sebagai pengikut Kristus, kita pun dipanggil untuk bersuara bersama mereka yang lemah, bukan diam demi keamanan diri sendiri.

Apakah kita siap, seperti Yesus, berani menghadapi ketidakadilan walau itu berarti kehilangan kenyamanan?


Doa Penutup

“Tuhan Yesus, Engkau telah menunjukkan keberanian untuk berdiri bersama orang yang tertindas, meski harus menanggung penderitaan. Tolong kami agar tidak hanya mencari keuntungan atau kenyamanan diri, tetapi berani bersuara demi kebenaran dan keadilan. Bentuklah hati kami untuk peka terhadap mereka yang lemah, dan jadikan hidup kami alat kasih dan kebenaran-Mu. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.”

Share:

Yesus, Minta Dijamu?

Yesus, minta dijamu? Firman Tuhan mengingatkan kita membuka hati bagi-Nya, bukan hanya memberi jamuan lahiriah, tetapi kesetiaan dan kasih sejati.
Lukas 19:1–10

Sebagai orang Kristen, kita selalu diajarkan untuk berkorban demi sesama, sebagai wujud kasih yang lahir dari pengorbanan Kristus. Benar, Kristus memberikan teladan pengorbanan yang agung. Namun, ternyata bukan hanya itu. Ada satu teladan lain yang sering kita abaikan, yaitu bahwa Yesus juga mau memberi diri-Nya dijamu dan dikasihi.

Ketika Yesus tiba di Yerikho, banyak orang penting tentu ingin menjamu-Nya. Namun, perhatian-Nya justru tertuju pada seorang pemungut cukai bernama Zakheus. Dalam pandangan masyarakat Yahudi, Zakheus adalah pendosa yang najis, seorang yang tidak layak bergaul, apalagi menjamu seorang rabi. Ia kaya, tetapi hidup dalam kesepian dan penolakan.

Zakheus tidak berani berharap bisa dekat dengan Yesus. Ia hanya ingin melihat dari jauh, bahkan sampai harus memanjat pohon ara karena tubuhnya pendek. Tetapi, justru di situlah Yesus berhenti dan berkata, “Zakheus, segera turun, sebab hari ini Aku harus menumpang di rumahmu.” (ay. 5).

Bagi Zakheus, itu momen luar biasa. Mungkin setelah sekian lama, baru kali ini ada seorang sahabat yang sudi duduk makan bersamanya. Lebih dari itu, seorang Rabi, bahkan Juru Selamat, memilih untuk masuk ke rumahnya, menerima jamuannya, dan berbagi sukacita bersama dia. Hari itu menjadi titik balik hidup Zakheus. Ia mengalami sukacita, pertobatan, dan keselamatan.

Inilah teladan Yesus: Ia tidak hanya berkorban memberi diri-Nya, tetapi juga berani menerima kasih, jamuan, dan persahabatan dari mereka yang dianggap hina. Yesus tidak takut dicap buruk atau kehilangan reputasi. Ia rela duduk, makan, tertawa, dan berelasi dengan mereka yang disisihkan.

Pelajaran bagi kita

  • Mengasihi tidak hanya berarti memberi, tetapi juga bersedia menerima kasih dari orang lain.

  • Kadang, dengan memberi kesempatan orang lain menjamu kita, kita sedang membuka jalan bagi mereka untuk mengalami kasih Kristus.

  • Gereja dipanggil bukan hanya menolong orang lemah, tetapi juga duduk bersama mereka, menghargai mereka, dan mengijinkan kasih mereka mengalir.

Mari kita belajar seperti Yesus: mau berbagi kasih sekaligus rela menerima kasih. Dengan begitu, kasih Allah semakin nyata dalam kehidupan bersama.

Doa Penutup

“Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau tidak hanya memberi diri-Mu, tetapi juga rela menerima kasih dari mereka yang dianggap hina. Ajarlah kami untuk rendah hati, bukan hanya mau menolong, tetapi juga mau ditolong. Bukan hanya memberi, tetapi juga rela menerima. Tolong kami agar hidup kami mencerminkan kasih-Mu, dengan mau duduk bersama, makan bersama, dan berbagi sukacita bersama siapa pun. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.”

Share:

Mata Hatiku Tertuju kepada Yesus

Mata hatiku hanya tertuju pada Yesus. Firman Tuhan adalah pelita bagi langkahku, menuntunku pada kasih dan tujuan-Nya yang mulia.
Kisah tentang pengemis buta di Yerikho ini sering kali kita dengar, tetapi ada pelajaran mendalam yang mungkin luput dari perhatian kita. Di satu sisi, ada seorang pengemis buta yang secara fisik tidak bisa melihat. Namun, ketika ia mendengar suara tentang Yesus, hatinya langsung terbuka. Tanpa melihat satu pun mukjizat, ia hanya mengandalkan kabar dari orang lain. Imannya sangat kuat sehingga ia berteriak dengan lantang, bahkan ketika orang-orang berusaha membungkamnya. Ia tahu, satu-satunya harapannya ada pada Yesus.

Di sisi lain, ada para murid Yesus. Mereka telah berjalan bersama-Nya selama bertahun-tahun. Mereka telah melihat langsung mukjizat-mukjizat luar biasa: orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, dan bahkan orang mati dibangkitkan. Mata fisik mereka melihat segalanya, tetapi hati mereka sering kali tertutup. Pikiran mereka masih diselimuti oleh ambisi duniawi, bukan oleh kebenaran tentang misi penyelamatan Yesus.

Perbedaan antara pengemis dan para murid ini adalah cerminan dari kondisi kita. Terkadang, kita begitu sibuk melihat "kenyataan" dan mengejar "harapan dunia" sehingga mata hati kita menjadi buta terhadap kebenaran rohani. Kita bisa saja melihat tanda-tanda kebaikan Tuhan di sekitar kita, tetapi hati kita tidak benar-benar percaya bahwa Yesus peduli atau mau bertindak bagi kita. Seperti pengemis itu, iman sejati tidak bergantung pada apa yang kita lihat, melainkan pada keyakinan teguh bahwa Yesus adalah sumber pengharapan kita. Kita harus memilih untuk mengarahkan mata hati kita kepada-Nya, terlepas dari apa pun yang dikatakan dunia.

Bagaimana kita bisa menerapkan kisah ini dalam kehidupan sehari-hari?

  1. Dengarkan Hati, Bukan Hanya Mata: Belajarlah untuk tidak hanya menilai hidup dari apa yang terlihat. Ketika kita menghadapi masalah, jangan biarkan keputusasaan menguasai hanya karena kita tidak melihat jalan keluar secara fisik. Sebaliknya, dengarkan suara iman di dalam hati kita, yang mengingatkan bahwa Yesus punya kuasa dan peduli.

  2. Berteriaklah dalam Iman: Pengemis itu tidak diam. Ia berseru dengan lantang, "Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!" Ketika kita merasa tertekan, terhalang, atau bahkan dihina oleh orang-orang di sekitar kita, jangan menyerah. Teruslah berseru kepada Tuhan dalam doa. Jadikan doa sebagai teriakan iman kita yang menunjukkan bahwa kita hanya bergantung kepada-Nya.

  3. Ikutlah Yesus dengan Sukacita: Setelah pengemis itu disembuhkan, ia langsung mengikut Yesus. Pemulihan dari Tuhan bukan hanya untuk kenyamanan pribadi, tetapi untuk membawa kita pada tujuan yang lebih besar: mengikut Dia. Setelah kita menerima kebaikan-Nya, tanggapilah dengan sukacita dan dedikasikan hidup kita untuk berjalan bersama-Nya. Jangan hanya menjadi penonton mukjizat, tetapi jadilah pengikut setia.

Doa Penutup

Ya Tuhan, kami datang di hadapan-Mu dengan hati yang terbuka. Kami mengaku, sering kali mata fisik kami melihat, tetapi mata hati kami buta. Pikiran kami terlalu dipenuhi dengan harapan-harapan duniawi dan kekhawatiran pribadi, sehingga kami tidak sepenuhnya mengarahkan pandangan kami kepada-Mu.

Seperti pengemis buta di Yerikho, kami ingin memiliki iman yang tidak pernah putus asa. Ajarilah kami untuk berseru kepada-Mu dengan keyakinan penuh, bahkan ketika orang lain mencoba membungkam kami. Bukalah mata hati kami, ya Tuhan, agar kami dapat melihat kuasa dan kasih-Mu yang bekerja dalam hidup kami setiap hari.

Terima kasih atas teladan kasih-Mu yang peduli kepada yang lemah dan terpinggirkan. Mampukan kami untuk meneladani-Mu, tidak hanya mengejar kenyamanan diri, tetapi juga menjadi saluran kasih-Mu bagi orang-orang di sekitar kami. Biarlah seluruh hidup kami menjadi bukti bahwa mata hati kami tertuju sepenuhnya kepada-Mu, Sang Juru Selamat. Amin.

Share:

Penderitaan Sudah di Depan Mata

.
Firman Tuhan mengajarkan kerendahan hati seperti anak kecil, agar kita layak menerima Kerajaan Allah dan hidup dalam iman yang murni.

Yesus untuk ketiga kalinya memberitahukan kepada murid-murid-Nya tentang penderitaan yang akan Ia alami: ditangkap, dihina, dicambuk, dibunuh, tetapi pada hari ketiga Ia akan bangkit. Namun, murid-murid tidak mengerti maksud Yesus. Pikiran mereka masih terpaku pada harapan duniawi—tentang kuasa, kejayaan, dan kebesaran Yerusalem.

Yesus berjalan menuju Yerusalem dengan penuh kepastian, sementara murid-murid berjalan bersama-Nya tanpa benar-benar memahami. Inilah sering kali gambaran kita juga: kita mengikut Yesus, tetapi pikiran kita tidak searah dengan-Nya. Kita berharap kemudahan, berkat, dan kemenangan, tetapi lupa bahwa salib adalah bagian dari perjalanan iman.

Refleksi

Penderitaan adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari ketika kita setia pada Kristus. Namun, kabar baiknya: penderitaan bukan akhir. Kebangkitan Yesus menjadi jaminan bagi kita bahwa kesetiaan tidak sia-sia.

Pertanyaannya:
👉 Apakah kita tetap mau berjalan bersama Yesus meski harus melewati jalan penderitaan?
👉 Apakah kita rela meninggalkan cara berpikir kita sendiri untuk mengikuti jalan dan kehendak-Nya?

Doa Penutup

“Tuhan Yesus, ajarilah kami untuk tidak takut berjalan bersama-Mu, meski ada penderitaan dan salib yang harus kami pikul. Ingatkan kami bahwa kebangkitan-Mu adalah jaminan kemenangan kami. Kuatkan hati kami supaya setia hingga akhir. Dalam nama-Mu kami berdoa. Amin.”

Share:

Kuputuskan Mengikut Yesus

Kuputuskan mengikut Yesus adalah langkah iman sejati. Firman Tuhan menuntun kita setia, taat, dan hidup bagi kemuliaan-Nya sampai akhir.
(Lukas 18:28–30)

Setelah perjumpaan Yesus dengan seorang pemimpin yang kaya, Petrus angkat bicara: “Kami telah meninggalkan apa yang kami miliki dan mengikut Engkau” (ayat 28). Menurut Petrus dan teman-temannya, mereka memang sudah meninggalkan pekerjaan, rumah, dan keluarganya demi mengikuti Yesus. Walau mereka bukan orang kaya, mereka merasa sudah berkorban banyak.

Yesus memahami isi hati murid-murid-Nya. Ia pun menjawab: “Setiap orang yang karena Kerajaan Allah meninggalkan rumah, istri, saudara, orang tua, atau anak-anaknya, akan menerima kembali berlipat ganda pada masa ini, dan pada zaman yang akan datang ia akan menerima hidup yang kekal” (ayat 29–30).

Refleksi

Mengikut Yesus berarti keputusan besar yang menuntut pengorbanan. Tidak selalu soal meninggalkan harta, tapi juga kesediaan mengubah cara hidup, pola pikir, karakter, kebiasaan, bahkan kenyamanan kita. Mengikut Yesus bukan untuk mencari keuntungan pribadi, melainkan karena kita sungguh-sungguh merindukan Kerajaan Allah.

Kadang kita berpikir: “Apakah pengorbananku sia-sia?” Yesus menegaskan bahwa tidak ada satu pun pengorbanan yang sia-sia. Mungkin kita tidak menjadi kaya raya, tetapi kita diberi berkat rohani: damai sejahtera, penghiburan, kekuatan, komunitas iman, dan yang terpenting: hidup kekal.

Aplikasi

  • Mengikut Yesus bukan sekadar ucapan, melainkan komitmen hidup.

  • Kita diajak meneladani kerendahan hati, kesederhanaan, dan pengorbanan Yesus.

  • Keputusan untuk mengikut Yesus menuntut kita siap menghadapi penderitaan demi kebenaran, tetapi juga mengingatkan kita bahwa janji Allah pasti: hidup kekal.

Doa Penutup

“Ya Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau memanggil kami untuk mengikut Engkau. Ajarlah kami agar setia, bukan hanya dengan mulut, tetapi dengan seluruh hidup kami. Tolong kami meninggalkan kelekatan pada harta, ego, atau kenyamanan yang menjauhkan kami dari-Mu. Berilah kami hati yang berani memikul salib, meneladani pengorbanan-Mu, dan yakin bahwa mengikut Engkau tidak pernah sia-sia. Dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin.”

Share:

Banyak Harta, Salahkah?

Banyak harta bukanlah dosa, namun firman Tuhan menegur agar hati tidak terpaut padanya, melainkan setia dan mengutamakan Kerajaan Allah.
Lukas 18:18–25

Lubang jarum adalah sebuah nama pintu gerbang yang sangat kecil di Yerusalem. Hanya seekor unta yang bisa lewat, itu pun tanpa muatan. Jika seseorang ingin masuk melalui pintu ini, ia harus melepaskan semua barang bawaannya agar dapat masuk ke dalam.

Tuhan Yesus berkata, “Alangkah sukarnya orang yang memiliki banyak harta masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab, lebih mudah seekor unta masuk melalui lubang jarum daripada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (ay. 24–25). Perkataan ini disampaikan-Nya setelah seorang pemimpin muda yang kaya datang dan bertanya bagaimana memperoleh hidup kekal (ay. 18). Ia mengaku telah melakukan semua perintah Allah sejak masa mudanya (ay. 21).

Namun Yesus berkata, “Tinggal satu kekuranganmu: Juallah segala yang kaumiliki dan bagikanlah kepada orang miskin, maka engkau akan memiliki harta di surga. Kemudian datanglah, ikutlah Aku” (ay. 22). Mendengar ini, pemimpin itu menjadi sedih. Ia tidak siap melepaskan hartanya, mungkin karena ia bekerja keras untuk mendapatkannya.

Sering kali kita pun menilai kesuksesan dari banyaknya harta. Tidak kaya berarti tidak sukses. Maka banyak orang mengejar kekayaan demi gengsi dan harga diri. Celakanya, kekayaan bisa menjadi “tuan” yang membuat kita bergantung padanya, bukan pada Tuhan.

Padahal, kekayaan bukan dosa—tetapi menjadi masalah ketika kita mencintainya lebih dari Tuhan, atau menahannya hanya untuk diri sendiri. Kekayaan adalah titipan, bukan tujuan akhir. Tuhan ingin kita berbagi: menolong orang yang kekurangan, mendukung pelayanan, dan menjadi saluran berkat bagi sesama.

💭 Refleksi:
Maukah kita melepaskan genggaman kita atas harta dan mempercayakan hidup sepenuhnya pada Tuhan? Apakah kita menjadikan harta sebagai tujuan, atau sebagai sarana untuk memuliakan Tuhan dan menolong sesama?

📌 Ingat:
Yang Tuhan cari bukan banyaknya harta kita, tetapi hati yang rela. Sukses sejati bukan tentang berapa yang kita kumpulkan, tetapi tentang berapa yang kita berikan dengan kasih.

Doa Penutup

Tuhan Yesus yang penuh kasih,
Terima kasih atas segala berkat dan kecukupan yang telah Engkau percayakan dalam hidup kami. Ajari kami agar tidak menggenggam harta dunia ini terlalu erat, tetapi memakai semua yang kami miliki untuk memuliakan nama-Mu dan menolong sesama.
Lunakkan hati kami agar tidak sombong karena kekayaan, tetapi rendah hati dan murah hati.
Tolong kami agar tidak menjadikan harta sebagai tuan, melainkan hanya Engkau satu-satunya Tuhan dalam hidup kami.
Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa.
Amin.

Share:

Ada Apa dengan Anak Kecil?

Firman Tuhan mengajarkan kerendahan hati seperti anak kecil, agar kita layak menerima Kerajaan Allah dan hidup dalam iman yang murni.
(Lukas 18:15–17)

Seorang ibu menggendong anak kecilnya naik bus pulang ke rumah. Ketika kernet menghitung penumpang, ia berkata, "Anaknya dipangku saja ya Bu, bebas tiket." Umumnya, anak kecil sering dianggap lemah, belum mengerti apa-apa, masih bergantung pada orang tua, belum dianggap penting dalam lingkungan sosial, bahkan kehadirannya tidak dihitung.

Ketika orang-orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu (ay.15). Alasannya, Yesus sudah lelah karena sepanjang hari berjalan dan mengajar tentang Kerajaan Allah, sedangkan anak-anak itu belumlah mengerti tentang pengajaran Yesus. Biarlah nanti orang dewasa yang mengajarkannya kepada anak-anak mereka masing-masing. Tidak harus Yesus yang turun tangan mengajar anak kecil. Sekarang, jangan halangi Yesus dalam perjalanan-Nya.

Melihat perbuatan murid-murid-Nya itu, Yesus memanggil orang-orang yang membawa anak-anak itu dan berkata, "Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan halang-halangi mereka, sebab orang-orang seperti inilah yang memiliki Kerajaan Allah" (ay.16). Sepertinya Yesus tidak mengindahkan perbuatan murid-murid-Nya, Dia mengajar mereka dengan menyuruh orang-orang itu membawa anak-anak kepada-Nya. Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, "... Siapa saja yang tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya" (ay.17). Bagi Yesus anak-anak itu sangat berharga, bukan penghalang untuk menyatakan Kerajaan Allah. Mereka berhak mendapatkan berkat Yesus dan harus dihitung keberadaannya.

Ada dua anggapan orang dewasa terhadap anak-anak, menganggap penting dan menganggap tidak penting. Namun, Yesus menunjukkan kepada kita pentingnya menyambut Kerajaan Allah seperti anak-anak itu. Anak-anak memiliki karakter jujur, polos, mudah berteman, dan mudah mengampuni. Gambaran Kerajaan Allah itu mau berteman dengan siapa saja, rela mengampuni, dan hidup damai. Kita pun dapat meneladan orang-orang yang membawa anak-anak kepada Yesus.


Doa Penutup

Tuhan yang penuh kasih,
terima kasih karena Engkau mengasihi anak-anak kecil
dan menegaskan bahwa mereka pun berharga di mata-Mu.

Ajarlah kami memiliki hati yang jujur, polos, dan penuh kasih seperti anak-anak,
agar kami dapat menyambut Kerajaan-Mu dengan rendah hati
dan hidup dalam damai sejahtera bersama sesama.

Dalam nama Yesus Kristus kami berdoa.
Amin.

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.