Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

✨ Teguhkanlah Hatimu untuk Bersaksi

"Teguhkanlah Hatimu untuk Bersaksi" mengajak kita lewat firman Tuhan untuk berani menyatakan iman, meski tantangan dan penolakan harus dihadap

Kesaksian tentang Kristus tidak selalu diterima dengan hangat. Bahkan, kerap dibalas dengan penolakan dan ancaman. Namun, Tuhan meneguhkan hati hamba-Nya.


🔍 1. Kesaksian yang Dibalas Tamparan

Paulus dihadapkan pada Mahkamah Agama yang terdiri dari orang Farisi dan Saduki. Di situ, ia menyatakan bahwa hidupnya tetap dijalani dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah (23:1). Tetapi justru pernyataan ini dibalas dengan tamparan dan hinaan (23:2).

Kebenaran seringkali menyakitkan bagi mereka yang tidak siap mendengarnya.


💡 2. Keteguhan yang Tidak Goyah

Meski dalam tekanan, Paulus tetap teguh. Ia menjawab dengan keberanian, bahkan menggunakan hikmat untuk membedakan dan mengarahkan situasi (23:6). Dalam perdebatan, ia tahu kapan berbicara, kapan diam, dan kepada siapa berseru.

Keteguhan hati bukan berarti keras kepala, tetapi keberanian untuk berdiri pada kebenaran.


🕊️ 3. Tuhan yang Meneguhkan

Di tengah kekacauan dan bahaya, Tuhan sendiri berdiri di sisi Paulus dan berkata, "Teguhkan hatimu" (23:11). Itu bukan sekadar kata penghiburan, tetapi panggilan untuk melanjutkan misi — dari Yerusalem sampai Roma.

Saat semua orang menolak, Tuhan tetap menyertai dan meneguhkan.


🔔 Refleksi Kita Hari Ini

  • Mungkin kita juga berada dalam situasi yang sulit untuk bersaksi.

  • Mungkin kita merasa ditolak karena kebenaran yang kita sampaikan.

  • Namun, seperti Paulus, Tuhan juga berkata kepada kita hari ini:

    "Teguhkan hatimu!"


🙏 Doa Berkat

Terpujilah Engkau, Bapa di Surga.
Kami bersyukur atas penyertaan-Mu malam yang telah berlalu dan pagi yang baru ini. Kami memohonkan berkat-Mu:

✨ Berkat kesehatan,
✨ Berkat sukacita dan damai sejahtera,
✨ Berkat atas keluarga, anak-anak, cucu-cucu,
✨ Berkat atas pekerjaan, sawah-ladang, usaha, studi, kantor, dan relasi,
✨ Berkat atas pelayanan, gereja, majikan, dan calon pendamping hidup.

Tuhan, curahkan hikmat dan kekuatan atas setiap langkah hidup kami. Biarlah berkat-Mu mengalir melimpah, dan kami tetap teguh berdiri dalam terang kebenaran-Mu.

Dalam nama Tuhan Yesus Kristus kami berdoa. Amin.
Tuhan Yesus memberkati!

Share:

🛡️ Identitas yang Menyelamatkan

"Identitas yang Menyelamatkan" menegaskan lewat firman Tuhan bahwa jati diri dalam Kristus membawa keselamatan, makna hidup, dan pengharapan kekal.

Identitas bukan sekadar label, tetapi jati diri yang menyelamatkan. Kadang kala, identitas yang dimiliki seseorang bisa menjadi pembeda antara bebas atau terhukum.


🔍 1. Paulus Menyadari Identitasnya

Ketika hendak dicambuk tanpa pengadilan, Paulus mengungkapkan bahwa dirinya adalah warga negara Roma (ay. 25). Tiba-tiba, tindakan para serdadu berhenti. Mereka takut, karena menyiksa seorang Civis Romanus tanpa proses hukum bisa berakibat fatal bagi mereka sendiri (ay. 26–29).

Kesadaran akan identitas menyelamatkan Paulus dari penderitaan yang tidak perlu.


⚖️ 2. Hukum Roma vs. Anugerah Allah

Menurut hukum Romawi, warga negara memiliki hak istimewa. Namun, menurut hukum kasih karunia Allah, mereka yang percaya kepada Kristus memiliki identitas kekal sebagai anak Allah—jauh lebih tinggi dan berharga dari status duniawi mana pun.

“Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan” (Markus 16:16).
Identitas sebagai warga Kerajaan Allah dibayar dengan darah Kristus!


💡 3. Sadarkah Kita Siapa Kita?

Banyak orang Kristen tahu bahwa mereka "orang percaya", namun tidak menyadari hak dan tanggung jawab rohaninya. Kita dipanggil bukan hanya untuk tahu, tapi juga untuk hidup sebagai anak-anak terang:

  • Menolak hidup dalam dosa

  • Taat pada kehendak Allah

  • Menjadi saksi Kristus dalam perkataan dan perbuatan

“Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Surga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku” (Mat. 7:21).


✨ Refleksi

Jika Paulus saja diselamatkan oleh identitas dunianya, berapa besar kuasa identitas kita di dalam Kristus? Jangan abaikan. Jangan sembunyikan. Hidupkan identitas itu setiap hari.


🙏 Doa

Tuhan, terima kasih karena aku memiliki identitas baru sebagai anak-Mu. Ingatkan aku untuk hidup sesuai dengan panggilanku—menjadi terang, menjadi garam, dan menaati kehendak-Mu. Jangan biarkan aku hanya memakai label Kristen, tetapi hiduplah dalamku, agar dunia melihat Engkau melalui kehidupanku. Dalam nama Yesus. Amin.

Share:

🎙️ Menyaksikan yang Dialami

"Menyaksikan yang Dialami" mengajak kita memberitakan firman Tuhan melalui pengalaman hidup nyata sebagai kesaksian akan kuasa dan kasih Allah.

Kesaksian paling kuat bukan berasal dari cerita orang lain, melainkan dari pengalaman pribadi. Rasul Paulus menunjukkan hal ini ketika ia diberi kesempatan berbicara di hadapan orang-orang yang baru saja menganiayanya.


🔍 1. Kesaksian Dimulai dari Diri Sendiri

Paulus membuka kesaksiannya dengan mengenalkan latar belakangnya:

  • Ia adalah orang Yahudi dari Tarsus,

  • dididik dalam Hukum Taurat oleh Gamaliel,

  • giat membela Allah dengan menganiaya orang Kristen (ay. 3–5).

Kesaksian dimulai dengan kejujuran tentang masa lalu.


🔄 2. Titik Balik: Bertemu Kristus

Paulus menceritakan bagaimana Tuhan Yesus sendiri menyatakan diri-Nya dalam perjalanannya ke Damsyik (ay. 6–10).
Ia buta secara jasmani—sebuah lambang bahwa ia juga buta secara rohani—lalu dipulihkan, dibaptis, dan disucikan dalam nama Tuhan (ay. 12–16).

Titik balik dalam hidup kita adalah ketika kita menyadari kasih Tuhan dan bertobat.


🌍 3. Panggilan untuk Bersaksi kepada Semua Bangsa

Saat berdoa di Bait Allah, Paulus mendapatkan panggilan kedua: Tuhan mengutusnya keluar, kepada bangsa-bangsa lain (ay. 17–21). Meski berat dan penuh risiko, ia tetap taat.

Kesaksian bukan hanya untuk kalangan sendiri, tetapi untuk semua orang, termasuk mereka yang belum mengenal Kristus.


🛑 4. Risiko Tetap Ada, Tapi Misi Tetap Jalan

Setelah kesaksiannya, Paulus tetap ditolak dan dicerca (ay. 22). Namun, penolakan tidak membatalkan panggilan. Paulus tetap setia karena apa yang ia alami adalah cara Tuhan memperlengkapi pelayanannya.


✨ Refleksi

Mungkin kamu juga mengalami pergumulan, luka, atau masa lalu yang kelam. Namun jangan lupakan ini:

Apa yang kita alami bersama Tuhan bukan untuk disimpan, tetapi untuk dibagikan.
Kesaksianmu bisa menjadi penghiburan, kekuatan, bahkan titik balik bagi orang lain.


🙏 Doa

Tuhan, ajarku untuk tidak malu atas masa laluku, tetapi menjadikannya sebagai kesaksian atas kasih dan kuasa-Mu. Mampukan aku bersaksi bukan dari kata-kata orang lain, melainkan dari pengalaman nyata bersama-Mu. Bentuk hidupku menjadi cerita tentang anugerah-Mu yang mengubahkan. Dalam nama Yesus, aku berdoa. Amin.

Share:

❓Kok Bisa Sih?

 

"Kok Bisa Sih?" mengajak kita merenung lewat firman Tuhan bahwa rencana-Nya sering di luar logika manusia, namun penuh hikmat dan kasih yang sempurna.

Banyak kejadian dalam hidup membuat kita spontan berkata, “Kok bisa sih?”—ungkapan keheranan karena sesuatu yang terjadi di luar nalar. Perikop hari ini juga membuat kita bertanya-tanya tentang ketenangan dan kesabaran seorang Rasul Paulus dalam situasi genting.

Berikut tiga hal yang mengherankan dari sikap Paulus:


1️⃣ Tetap Tenang Saat Disalahpahami

Paulus ditangkap karena hoaks bahwa ia membawa orang non-Yahudi masuk ke dalam Bait Allah. Bahkan, komandan pasukan mengira dia pemberontak Mesir! Namun, bukannya marah atau membela diri, Paulus tenang menjelaskan identitasnya sebagai warga negara Tarsus (ay. 37–39a).

Kok bisa sih? Dalam ketidakadilan, dia tetap bersikap dewasa.


2️⃣ Tetap Sabar Saat Dianiaya

Setelah dipukul, diseret, dan difitnah, Paulus tetap meminta izin secara sopan untuk berbicara kepada massa (ay. 39b). Padahal, sebagai warga negara Romawi, ia punya hak bicara. Namun, ia tetap memilih jalur damai.

Kok bisa sih? Dalam tekanan, dia tetap rendah hati.


3️⃣ Tetap Setia Memberitakan Injil

Ketika diizinkan bicara, Paulus tidak membela diri, melainkan langsung menceritakan karya Kristus dalam hidupnya (ay. 40, lih. Kis. 22). Dia menjadikan mimbar itu sebagai peluang untuk memberi kesaksian.

Kok bisa sih? Dalam penderitaan, dia tetap fokus kepada misi Tuhan.


🔑 Kuncinya: Hati yang Siap dan Roh yang Menguatkan

Mengapa Paulus bisa seperti itu? Karena ia sudah siap sejak awal untuk menghadapi penderitaan demi Kristus (lih. Kis. 20:24). Ia tidak hidup berdasarkan kenyamanan, tapi berdasarkan ketaatan kepada Allah.


🔍 Refleksi

Ketika kita disalahpahami, diperlakukan tidak adil, atau mengalami tekanan karena iman kita, apakah kita akan tetap tenang, sabar, dan setia seperti Paulus?

Maukah kita mempersiapkan hati untuk taat, bahkan ketika hal itu menuntut pengorbanan besar?


🙏 Doa

Tuhan, ajarlah aku untuk bersikap tenang saat disalahpahami, sabar saat disakiti, dan setia saat diminta bersaksi. Tuntun aku dengan Roh-Mu agar aku tidak bereaksi secara daging, tetapi merespons dengan kasih dan hikmat. Bentuk hatiku seperti hati Paulus, yang siap menghadapi penderitaan demi kemuliaan-Mu. Dalam nama Yesus aku berdoa. Amin.

Share:

🔥 Fanatisme: Garang atau Teduh?

 
"Fanatisme: Garang atau Teduh?" mengajak kita menilai sikap iman lewat firman Tuhan—apakah mencerminkan kasih atau justru menjauhkan dari kebenaran.

Orang yang fanatik sering kali mudah tersulut emosi. Mereka bisa langsung bertindak anarkis tanpa melakukan klarifikasi, hanya karena merasa "membela Tuhan". Inilah yang dialami oleh Rasul Paulus. Ia dianiaya secara brutal bukan karena kesalahan yang nyata, tetapi karena kesalahpahaman dan hasutan massa (ay. 27–29).

Orang-orang menyangka bahwa Paulus telah membawa Trofimus, seorang bukan Yahudi, ke dalam Bait Allah—padahal tidak! Namun, karena informasi setengah benar ini, Paulus diseret, dipukul, dan dirantai (ay. 30–33). Ironisnya, massa yang menyerangnya pun tidak tahu pasti alasan mereka marah (ay. 34).


🔁 Paulus: Dulu Pelaku, Kini Korban

Sebelum mengalami kekerasan ini, Paulus sendiri pernah menjadi pelaku fanatisme. Dia adalah orang yang paling bersemangat menganiaya jemaat mula-mula, karena dia pikir sedang berbakti kepada Allah (bdk. Kis. 9:4-5). Tapi kemudian, ia disadarkan oleh kasih Kristus dan berbalik arah.


👥 Dua Wajah Umat Beragama

Dari kisah ini kita belajar bahwa umat Tuhan bisa memiliki dua wajah:

  1. Wajah Garang

    • Mudah tersinggung atas nama Tuhan.

    • Cepat menghakimi tanpa cinta kasih.

    • Cenderung keras dalam menyikapi perbedaan.

    • Menyalahgunakan semangat agama untuk membenarkan kekerasan.

  2. Wajah Teduh

    • Lembut dan rendah hati, sekaligus tegas dalam iman.

    • Mampu membedakan antara kebenaran dan emosi pribadi.

    • Menghadirkan damai karena sadar bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh. 4:8).

    • Mewujudkan iman melalui sikap pengampunan dan pelayanan.


🧠 Fanatisme vs Iman Sejati

Fanatisme sering lahir karena agama dijadikan arena persaingan kesalehan, bukan ruang penerimaan anugerah. Ketika fokus iman bergeser dari Kristus yang penuh kasih kepada ego pembuktian diri, maka kekerasan menjadi hal yang "suci". Padahal, iman sejati menuntun kepada kasih, bukan keributan (lih. Gal. 5:22–23).


💬 Refleksi

Dalam kehidupan beriman kita,
Apakah kita lebih cepat menuduh atau lebih cepat mengasihi?
Apakah kita mendengar suara kasih Allah atau justru amarah dari dalam diri sendiri?

Ingat, Allah tidak memanggil kita untuk menjadi tentara fanatik, tapi menjadi duta kasih-Nya di tengah dunia yang penuh luka.


🙏 Doa

Tuhan, jauhkanlah aku dari semangat fanatisme yang membabi buta. Bentuklah hatiku untuk mencintai-Mu dengan benar, dan mencintai sesama dengan kasih yang sejati. Beri aku hikmat agar tidak menjadi hakim atas orang lain, melainkan pembawa damai dan terang Kristus di mana pun aku berada. Amin.

Share:

🦎 Adaptif Seperti Bunglon

 

"Adaptif Seperti Bunglon" mengajak kita lewat firman Tuhan untuk menyesuaikan diri tanpa kehilangan iman, tetap teguh dalam kebenaran di tengah perubahan.

Apakah orang Kristen boleh beradaptasi dengan lingkungan?
Jawabannya: ya, selama adaptasi itu tidak mengubah esensi iman. Sama seperti bunglon yang mengubah warna tubuhnya untuk menyesuaikan dengan lingkungan, tetapi tidak pernah berubah bentuk atau identitasnya, demikian pula hidup orang percaya.

Ketika Rasul Paulus tiba di Yerusalem, para saudara menyambutnya dengan sukacita (ay. 17). Paulus dengan penuh semangat menceritakan karya Tuhan di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi (ay. 19), dan para penatua memuliakan Allah saat mendengarnya (ay. 20). Namun, ada satu isu yang tidak bisa diabaikan: banyak orang Yahudi salah paham dan menuduh bahwa Paulus mengajarkan pelanggaran Hukum Taurat (ay. 21).

Lalu, para penatua memberi nasihat strategis: agar Paulus mengikuti ritual penyucian dan mencukur rambutnya, untuk menunjukkan bahwa ia tidak menolak hukum Yahudi (ay. 23–24). Paulus menerima nasihat itu. Mengapa? Karena hal tersebut tidak mengubah isi imannya, hanya caranya dalam membawa diri dan mengomunikasikan Injil.

Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang.
(1 Korintus 9:22b)


🔄 Menjaga Esensi, Menyesuaikan Ekspresi

Dalam kehidupan bergereja, kita perlu membedakan antara:

  • Prinsip Dasar – yang tidak bisa diubah: seperti doktrin Allah Tritunggal, keselamatan oleh anugerah melalui iman, dan kematian-kebangkitan Kristus.

  • Prinsip Teknis – yang bisa diadaptasi: seperti bentuk liturgi, gaya musik, metode penginjilan, atau media pelayanan.

Sayangnya, banyak orang lebih kaku dalam hal teknis dan lebih longgar dalam hal prinsip. Kita membela gaya ibadah, tapi lupa menjaga kekudusan hidup. Kita bersikukuh soal pakaian ibadah, tapi mengabaikan kebenaran Injil.


🌱 Refleksi

Rasul Paulus menunjukkan bahwa menyesuaikan diri bukan kompromi, asalkan inti iman tetap terjaga. Ia bersedia mengubah pendekatan, tetapi tidak pernah mengubah Injil. Semangatnya adalah memenangkan lebih banyak orang bagi Kristus, bukan memenangkan debat atau mempertahankan tradisi.

Mari kita bertanya:
Apakah cara kita melayani dan bersaksi mempermudah orang mengenal Kristus, atau justru menghalangi mereka?

Jadilah seperti bunglon dalam hal cara menyampaikan kasih Tuhan, tetapi teguh seperti batu karang dalam iman kepada Kristus yang tidak berubah.


🙏 Doa

Tuhan, ajar aku untuk bijak dalam membedakan apa yang perlu dijaga dan apa yang boleh disesuaikan. Beri aku keberanian untuk teguh pada Injil dan kerendahan hati untuk belajar beradaptasi, agar semakin banyak orang dapat mengenal kasih-Mu melalui hidupku. Amin.

Share:

🔊 Dua Suara Roh Kudus

 
"Dua Suara Roh Kudus" mengajak kita melalui firman Tuhan untuk peka membedakan suara-Nya, agar hidup dipimpin dalam kebenaran dan kehendak Allah yang sejati.

Bagaimana kita bisa membedakan suara Tuhan dari suara lain?
Dan bagaimana bila dua suara yang tampaknya berasal dari Roh Kudus justru memberi arahan yang berbeda? Mana yang harus kita ikuti?

Inilah situasi yang dihadapi oleh Rasul Paulus dalam perjalanan menuju Yerusalem. Dalam perjalanannya, saat singgah di Tirus dan Kaisarea, dua kali Paulus menerima nasihat yang tampaknya bertentangan—dan keduanya berasal dari Roh Kudus!

  1. Nasihat pertama datang dari para murid di Tirus. Oleh kuasa Roh, mereka menasihati Paulus untuk tidak melanjutkan perjalanan ke Yerusalem (ay. 4).

  2. Nasihat kedua disampaikan oleh Agabus, seorang nabi. Ia menyampaikan nubuatan bahwa Paulus akan diikat dan diserahkan kepada bangsa-bangsa lain (ay. 10–11). Setelah mendengar ini, semua orang mendesak Paulus agar tidak pergi (ay. 12).

Namun, Paulus tetap teguh. Ia menjawab dengan penuh keteguhan hati:

“Aku rela bukan hanya diikat, tetapi juga mati di Yerusalem karena nama Tuhan Yesus.” (ay. 13)

📌 Mana yang benar?

Apakah Paulus salah karena tidak menuruti peringatan dari Roh Kudus?
Tentu tidak. Roh Kudus memang menyatakan bahaya yang akan datang, tetapi tidak memerintahkan Paulus untuk mundur. Para sahabat Paulus, karena mengasihinya, menafsirkan nubuat itu sebagai larangan. Namun, Paulus menerimanya sebagai konfirmasi atas tekadnya yang telah bulat.

Dalam hal ini, kita belajar bahwa Allah tidak bersikap otoriter. Ia memberikan peringatan, bukan pemaksaan. Ia menyampaikan realitas risiko, namun keputusan tetap ada pada kita, apakah kita akan taat dan melangkah dalam iman, atau mundur dan tetap di zona aman.


🌱 Refleksi

Dalam kehidupan kita, sering kali kita juga dihadapkan pada dua suara:

  • Suara yang mengajak kita tinggal di zona nyaman dan aman.

  • Suara yang memanggil kita keluar, menghadapi risiko demi sesuatu yang lebih besar bagi kerajaan Allah.

Pertanyaannya adalah:
Apakah kita mau hidup seadanya dalam kenyamanan, atau melangkah dengan iman dalam misi Tuhan yang lebih besar, sekalipun harus berhadapan dengan risiko?


🙏 Doa

Tuhan, berikan aku kepekaan untuk mendengar suara-Mu. Ajari aku membedakan antara kehendak manusia dan kehendak-Mu. Bila Engkau memanggilku untuk melangkah maju, berilah aku keberanian seperti Paulus—rela menderita bahkan kehilangan segalanya demi nama-Mu. Dalam nama Yesus, aku berdoa. Amin

Share:

🌾 Warisan Seorang Pemimpin

 

"Warisan Seorang Pemimpin" menegaskan lewat firman Tuhan bahwa pemimpin sejati meninggalkan teladan iman, ketaatan, dan dampak rohani yang kekal.

(Kisah Para Rasul 20:17–35)

Apa yang menjadikan seorang pemimpin benar-benar berhasil? Apakah karena popularitasnya yang luar biasa? Atau kehebatannya yang tidak tertandingi? Tentu saja bukan. Seorang pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang meninggalkan warisanlegacy yang membentuk dan menguatkan generasi berikutnya.

Hal inilah yang dilakukan oleh Rasul Paulus. Ia tidak sempat singgah di Efesus, tetapi ia memanggil para penatua jemaat Efesus untuk menemuinya di Miletus (ay. 17). Di sana, Paulus memberikan pesan terakhir yang sangat penting, yaitu kesaksian hidupnya dalam pelayanan dan nasihat bagi masa depan gereja.

✨ Apa warisan Paulus?

  1. Kesetiaan dan Kerendahan Hati dalam Pelayanan
    Paulus melayani dengan segala kerendahan hati, bahkan dengan air mata dan penderitaan, namun tidak pernah melalaikan tugasnya. Ia setia mengajar dan memberitakan Injil, kepada semua orang, tanpa pilih kasih (ay. 18–21).

  2. Penyerahan Diri kepada Roh Kudus
    Meski ia tahu penderitaan menantinya di Yerusalem, Paulus tetap melangkah dalam ketaatan karena ingin menyelesaikan tugasnya sebagai pemberita kasih karunia Allah (ay. 22–24).

  3. Peringatan dan Tanggung Jawab Gembala
    Paulus mengingatkan para penatua untuk menggembalakan jemaat dengan setia, menjaga dari ajaran sesat, dan menolong yang lemah (ay. 28–31, 35).

Paulus tahu bahwa ia tidak akan bertemu lagi dengan mereka, tetapi ia tidak meninggalkan kehampaan. Ia meninggalkan warisan iman dan teladan hidup yang akan tetap hidup di hati jemaat.


📌 Refleksi

Seorang pemimpin yang baik bukanlah yang membuat dirinya tidak tergantikan, melainkan yang mempersiapkan orang lain untuk melanjutkan misi Allah. Itulah warisan sejati: semangat, kesetiaan, dan cinta kepada Tuhan yang diteruskan kepada generasi selanjutnya.

Bagaimana dengan kita?
Apakah kita sedang membangun warisan rohani yang akan menguatkan dan meneguhkan mereka yang datang setelah kita?


🙏 Doa

Tuhan, ajar aku menjadi pemimpin yang setia dan rendah hati. Mampukan aku meninggalkan warisan iman yang hidup dan membangun bagi generasi berikutnya. Kiranya hidupku menjadi kesaksian tentang kasih dan kesetiaan-Mu. Dalam nama Yesus, aku berdoa. Amin.

Share:

🌿 Menghimpun Energi

 
"Menghimpun Energi" mengajak kita memperoleh kekuatan sejati dari firman Tuhan, agar mampu menjalani hidup dengan semangat, iman, dan pengharapan yang teguh.

Dalam dunia psikologi, dikenal dua tipe kepribadian: ekstrover dan introver. Orang ekstrover cenderung mendapatkan energi melalui interaksi sosial, sementara introver justru mengisi energi lewat kesendirian. Namun, sebagai anak-anak Tuhan, baik ekstrover maupun introver—kita semua memperoleh kekuatan yang sejati dari Tuhan sendiri.

Itulah yang kita lihat dalam diri Paulus. Dalam perjalanan penginjilannya, ketika rekan-rekannya naik kapal, Paulus memilih berjalan kaki sendirian ke Asos (ay. 13). Padahal, ia sedang terburu-buru untuk tiba di Yerusalem sebelum Hari Raya Pentakosta (ay. 16), bahkan sampai menghindari singgah di Efesus. Bukankah aneh? Jika sedang terburu-buru, bukankah kapal jauh lebih efisien daripada berjalan kaki?

Jika kita melihat dengan logika manusia, pilihan Paulus tampak tidak masuk akal. Namun, secara rohani, keputusan Paulus sangat masuk akal. Ia tahu bahwa di Yerusalem, dirinya akan menghadapi tantangan berat: penolakan, aniaya, bahkan pemenjaraan. Maka, dia membutuhkan kekuatan, dan bukan sembarang kekuatan—melainkan kekuatan dari Tuhan.

Berjalan sendirian bukanlah kemunduran bagi Paulus, melainkan momen berharga untuk bersekutu dengan Tuhan secara pribadi. Dalam kesunyian perjalanan itu, dia menghimpun energi rohani—bukan dari manusia, melainkan dari Allah yang hidup.

Kita semua membutuhkan kekuatan ilahi untuk menjalani panggilan hidup.
Itulah sebabnya, mengambil waktu untuk menyendiri bersama Tuhan bukanlah tindakan sia-sia, tetapi cara yang paling bijak dan logis sebagai anak Tuhan.


📌 Refleksi

  • Apakah selama ini Anda mencari kekuatan dari kesibukan dan keramaian?

  • Kapan terakhir kali Anda sengaja mengambil waktu untuk menyendiri bersama Tuhan?


🙏 Doa

Tuhan, di tengah hiruk-pikuk hidup ini, ajarku untuk berhenti sejenak, berjalan bersamamu, dan menghimpun kekuatan dari hadirat-Mu. Aku percaya, kekuatan yang sejati berasal dari-Mu, bukan dari dunia. Dalam nama Yesus, aku berdoa. Amin.

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.