Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Konsisten Kata dan Perbuatan


Dalam budaya Jawa, dikenal pepatah: “esuk tempe, sore dhele.” Artinya, pagi bilang tempe, sore berubah jadi kedelai. Ungkapan ini mencerminkan ketidakkonsistenan antara kata dan perbuatan — sesuatu yang menandai ketidakjujuran atau ketidakteguhan hati.

Namun, Allah tidak demikian. Firman-Nya teguh, janji-Nya pasti. Ia menjanjikan tanah perjanjian kepada bangsa Israel. Ketika umat-Nya bersungut-sungut dan tidak percaya, bahkan hendak kembali ke Mesir, TUHAN murka (ay. 11–12). Musa pun memohon pengampunan, dan Allah mengampuni (ay. 20). Tetapi pengampunan itu tidak serta-merta menghapuskan akibat dari ketidakpercayaan mereka — generasi itu tidak masuk tanah perjanjian, kecuali Kaleb dan Yosua (ay. 30).

🔴 Ketaatan Bukan Sekadar Kata, tetapi Perbuatan

Iman yang sejati tidak berhenti pada pengakuan di mulut. Kaleb dan Yosua menunjukkan iman mereka bukan hanya lewat perkataan, tetapi juga lewat sikap yang teguh dan tindakan yang selaras (ay. 6–9). Sebaliknya, umat yang lain berubah-ubah: saat takut, mereka menolak berangkat; saat ditegur, mereka nekat maju tanpa perintah TUHAN (ay. 40–45).

Konsistensi iman diuji justru saat keadaan sulit. Apakah kita tetap taat ketika doa-doa kita belum dijawab? Apakah tindakan kita tetap selaras dengan iman yang kita akui saat hasil belum terlihat?

Allah tidak pernah ingkar janji. Karena itu, marilah kita pun belajar hidup dalam konsistensi — menyatukan ucapan dan tindakan dalam iman yang teguh kepada-Nya. Sebab hanya dengan konsistensi itulah kita menunjukkan bahwa kita sungguh-sungguh percaya kepada Allah.

Share:

PoV

 


Di media sosial, kita mengenal istilah PoV (point of view) sebagai sudut pandang seseorang terhadap sesuatu. Sudut pandang ini bukan hanya soal bagaimana kita melihat dunia, tetapi juga bagaimana kita memaknai pengalaman, tantangan, dan panggilan dalam hidup.

Dalam kisah pengintai tanah Kanaan, kedua belas orang yang diutus Musa memiliki PoV yang serupa tentang keadaan tanah — tanah itu memang berlimpah susu dan madunya (ay. 27). Mereka juga sepakat bahwa penduduknya kuat dan kotanya berkubu (ay. 28–29). Namun, perbedaan muncul saat mereka menilai kemampuan bangsa Israel untuk merebut tanah itu. Kaleb melihat dengan iman dan keyakinan bahwa mereka sanggup menaklukkannya (ay. 30), sementara yang lain melihat dengan ketakutan dan pesimisme (ay. 31–33).

🔴 Sudut Pandang Kita Menentukan Arah Langkah Kita

Kaleb dan sepuluh pengintai lainnya mengalami hal yang sama, tetapi menafsirkannya dengan PoV yang berbeda. Hal ini mengajarkan bahwa sering kali persoalan bukan terletak pada keadaan luar, tetapi pada bagaimana kita memandangnya. Ketika kita memandang sebuah tantangan dengan pesimis, maka kita akan kehilangan semangat dan keberanian. Tetapi jika kita memandangnya dengan iman dan harapan, maka langkah kita menjadi pasti dan berani.

Setiap hari kita menghadapi tantangan yang serupa: akankah kita menyerah karena merasa kecil, atau melangkah karena percaya Allah beserta kita? Mari memandang hidup dari sudut pandang yang dibentuk oleh iman, bukan ketakutan. Biarlah kita belajar seperti Kaleb — melihat dengan keyakinan, bukan dengan keraguan.

Share:

Dosa Kebodohan

 

📖 Bilangan 12:1–11

Sering kali kita mengukur kebodohan hanya dari sisi akademis — nilai rapor, ijazah, atau gelar. Namun, Alkitab menunjukkan bahwa kebodohan sejati bisa terjadi ketika seseorang gagal memahami kehendak Allah. Harun sendiri mengakui bahwa tindakannya bersama Miryam adalah “dosa dalam kebodohan” (ay. 11).

Mereka mencela Musa, mempertanyakan otoritas yang Allah berikan kepadanya (ay. 1–2). Ini bukan hanya kritik terhadap Musa sebagai pribadi, melainkan perlawanan terhadap pilihan Allah sendiri. Tuhan pun menyatakan bahwa mereka tidak benar-benar mengenal siapa Musa di mata-Nya (ay. 6–8). Kebodohan mereka terletak pada ketidakpekaan mereka terhadap pekerjaan dan kehendak Tuhan.

🔴 Kebijaksanaan Tumbuh dari Hati yang Cermat dan Rendah Hati

Kita pun bisa jatuh pada kebodohan yang sama jika mudah menilai sesuatu tanpa mengenal dan mencermatinya terlebih dahulu. Sering kali, ketika situasi tidak menguntungkan kita, kita tergoda untuk menyalahkan atau menolak sesuatu — bahkan keputusan Allah — karena merasa lebih tahu.

Menjadi pintar bukan hanya soal akademik, tetapi soal kebijaksanaan. Kebijaksanaan muncul ketika kita belajar untuk cermat, peka, dan rendah hati dalam menilai keadaan, orang lain, dan kehendak Tuhan. Itulah bentuk kepintaran sejati — ketika kita memilih taat dan tidak mudah terombang-ambing oleh penilaian diri sendiri atau lingkungan.

Share:

Melampaui Harapan

📖 Bilangan 11:21–31

Allah sanggup melakukan segala sesuatu, bahkan yang melampaui logika manusia. Ketika Musa merasa mustahil menyediakan daging untuk seluruh bangsa Israel di padang gurun, TUHAN menunjukkan bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Ia mendatangkan burung puyuh dalam jumlah sangat banyak — sejauh satu hari perjalanan dan setinggi dua hasta dari tanah (ay. 31). Ini bukan sekadar cukup, melainkan melimpah ruah!

Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa Allah tidak dibatasi oleh cara atau ukuran manusia. Ketika manusia hanya membayangkan sepiring daging, Allah menyediakan ratusan kilogram. Ketika kita berpikir kecil, Allah bekerja besar. Itulah kuasa dan kemurahan Allah yang luar biasa.

🔴 Iman yang Percaya Tanpa Batasan

Terlalu sering kita tanpa sadar membatasi kuasa Allah. Kita beriman, tapi masih mengira pertolongan Allah hanya sebatas pemahaman atau rencana kita sendiri. Namun, seperti yang dialami Musa, Allah justru menunjukkan bahwa iman sejati berarti membuka diri untuk menerima karya Allah yang besar — bahkan yang tidak pernah kita bayangkan.

Saat kita percaya sungguh-sungguh, kita tidak hanya berharap pada apa yang kita lihat. Kita percaya Allah mampu melakukan perkara besar, bahkan melampaui harapan kita


Share:

Tak Bisa Menghindar

 

📖 Bilangan 11:24–30

Ketika TUHAN memilih seseorang untuk melakukan pekerjaan-Nya, tidak ada yang dapat menghindar. Inilah yang dialami oleh Eldad dan Medad. Meskipun mereka tidak hadir di Kemah saat Musa mengumpulkan ketujuh puluh tua-tua, TUHAN tetap memberikan kepada mereka sebagian dari Roh yang ada pada Musa, dan mereka pun bernubuat di perkemahan (ay. 25–26).

Alkitab tidak menjelaskan alasan ketidakhadiran mereka. Namun, yang pasti, ketidakhadiran itu tidak menghalangi kehendak Allah untuk menjadikan mereka bagian dari pekerjaan-Nya. Eldad dan Medad tetap dipakai TUHAN, menunjukkan bahwa ketika Allah berkehendak, tak ada yang bisa menghindar.

Kita pun dipanggil untuk mengambil bagian dalam pekerjaan Allah. Panggilan itu bisa datang dalam banyak bentuk—melalui gereja, komunitas, keluarga, bahkan di tempat kerja atau sekolah. Namun, tidak jarang kita merasa keberatan, mencoba menghindar, atau berpikir bahwa tugas tersebut terlalu berat.

Belajarlah dari Eldad dan Medad. Lebih baik menyediakan diri dipakai oleh Allah daripada mencoba lari dari kehendak-Nya. Sebab, ketika Allah memanggil, Ia juga menyertai dan memperlengkapi. Roh yang sama yang menguatkan Musa dan para tua-tua, juga akan memampukan kita.

Jadi, ketika tugas dari Tuhan datang, jangan ragu dan jangan menolak. Sambut dengan iman dan keyakinan bahwa penyertaan-Nya cukup. Kita dipanggil bukan karena mampu, tetapi karena Dia yang memanggil akan memampukan.

Share:

Penyertaan TUHAN

📖 Bilangan 10:11–36

Perjalanan bangsa Israel dari Padang Gurun Sinai menuju Padang Gurun Paran dilakukan sesuai dengan titah TUHAN. Kedua belas suku berangkat secara teratur, mengikuti petunjuk dan urutan yang telah ditetapkan (ay. 11–28). Dalam perjalanan ini, kehadiran TUHAN tetap menyertai mereka melalui tiang awan yang menaungi dan melindungi (ay. 12, 34).

Musa juga mengajak Hobab bin Rehuel, orang Midian, untuk ikut dalam perjalanan, dan mereka pun melangkah dengan Tabut Perjanjian TUHAN di depan sebagai simbol kehadiran dan perlindungan Allah (ay. 29–36). Ini menjadi bukti bahwa setiap langkah mereka dikawal oleh penyertaan ilahi.

Ada beberapa hal penting yang dapat kita pelajari dari bagian ini:

  1. TUHAN menyatakan penyertaan-Nya melalui tanda nyata, seperti tiang awan, untuk melindungi umat-Nya.

  2. Tabut Perjanjian yang berjalan di depan menunjukkan bahwa Allah memimpin langkah mereka secara langsung.

  3. Umat Israel menaati perintah TUHAN melalui Musa dalam setiap perjalanan mereka.

  4. Ketaatan mereka dibalas dengan janji penyertaan dan kebaikan dari TUHAN.

Dalam hidup kita sekarang, Allah tetap menyertai dan menaungi kita, sama seperti umat Israel. Ketika kita setia melakukan kehendak-Nya, pemeliharaan-Nya nyata dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, jangan goyah menghadapi persoalan hidup. Berpeganglah pada pimpinan Allah, sebab penyertaan-Nya selalu ada bagi mereka yang percaya dan taat.

Share:

Pujian Ibadah Minggu 04 Mei 2025

Share:

IBADAH PASKAH BERSAMA || GKKK WILAYAH BLITAR || 02 MEI 2025

Share:

Tanda Pengenalan Allah

 

📖 Bilangan 10:1–10

Dalam kehidupan sehari-hari, tanda atau isyarat sangat penting, khususnya dalam situasi darurat. Sama seperti awak kapal yang menggunakan kode morse atau semafor untuk memberi peringatan, demikian pula Allah memberikan tanda kepada umat-Nya agar mereka siap menghadapi berbagai situasi.

Dalam perikop ini, TUHAN memerintahkan Musa untuk membuat dua nafiri perak sebagai alat isyarat bagi bangsa Israel (ay. 1–2). Nafiri itu digunakan untuk memanggil umat berkumpul, memberi aba-aba berangkat, serta sebagai peringatan ketika hendak berperang (ay. 3–9). Nafiri juga ditiup pada hari-hari raya dan saat mempersembahkan kurban sebagai tanda pengingat akan Allah yang telah membebaskan mereka dari Mesir (ay. 10).

Melalui nafiri, Allah menyatakan bahwa setiap gerak langkah umat Israel harus berada di bawah pimpinan-Nya. Mereka tidak berjalan menurut kehendak sendiri, tetapi menantikan tanda dari TUHAN. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kepekaan terhadap pimpinan Allah.

Dalam kehidupan kita sekarang, Allah juga sering memberi tanda—baik melalui firman, doa, maupun situasi yang kita alami. Sayangnya, kita sering kali terlalu sibuk atau larut dalam masalah, sehingga tidak peka terhadap tanda tersebut. Kita mengandalkan kekuatan sendiri, dan melupakan bahwa hidup kita seharusnya dipimpin oleh Allah.

Tanda dari TUHAN bukan sekadar peringatan, tetapi juga merupakan undangan untuk lebih dekat dan taat kepada-Nya. Sama seperti umat Israel yang setia merespons bunyi nafiri, kita pun dipanggil untuk tanggap terhadap kehendak Allah setiap hari.

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.