Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar: renungan harian
Tampilkan postingan dengan label renungan harian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label renungan harian. Tampilkan semua postingan

Renungan Harian : Berkat Menuntut Pengelolaan Bersama

“Ilustrasi Musa memimpin dan membimbing para pemimpin Israel di padang gurun dengan hikmat dan wibawa, menggambarkan kepemimpinan yang berbagi tanggung jawab sesuai Ulangan 1:9–18.”

Berkat Menuntut Pengelolaan Bersama | Renungan Harian Ulangan 1:9–18

🌿 Berkat Menuntut Pengelolaan Bersama

Bacaan: Ulangan 1:9–18

“Bagaimana aku sanggup seorang diri menanggung beban dan tanggung jawabmu serta perkaramu?”
Ulangan 1:12

Refleksi:

Sering kali kita menilai keberhasilan dari seberapa banyak yang kita miliki — banyak harta, banyak jemaat, banyak proyek, banyak hasil. Namun, di mata Tuhan, jumlah bukanlah ukuran akhir. Setiap berkat yang bertambah selalu datang bersama tanggung jawab baru.

Bangsa Israel mengalami hal ini. Dari hanya 70 jiwa yang masuk ke Mesir, mereka tumbuh menjadi jutaan orang saat keluar dari sana. Pertumbuhan ini bukan sekadar tanda kasih Tuhan, melainkan juga ujian tanggung jawab. Bagaimana mereka akan mengelola kehidupan bersama yang besar ini? Bagaimana mereka menjaga ketertiban dan kesetiaan di tengah perjalanan panjang menuju Tanah Perjanjian?

Musa menyadari bahwa tugas itu tidak bisa ia pikul seorang diri. Ia belajar dari saran Yitro, mertuanya, untuk membentuk sistem kepemimpinan yang berlapis. Ia mengangkat pemimpin-pemimpin yang bijak, jujur, dan takut akan Allah. Musa memahami bahwa kepemimpinan sejati bukanlah panggung bagi satu orang, melainkan kolaborasi yang dijiwai ketaatan kepada Allah.

Refleksi Pribadi:

Terkadang kita juga terjebak dalam cara pikir “aku harus melakukan semuanya.” Kita merasa tanggung jawab di keluarga, pelayanan, atau pekerjaan hanya akan benar kalau kita sendiri yang memegang kendali. Tapi Tuhan tidak merancang kepemimpinan seperti itu. Ia memanggil kita untuk berbagi beban, membimbing, dan mempercayai orang lain.

Delegasi bukan berarti melepas tanggung jawab, melainkan menggandakan pengelolaan berkat. Ketika kita memberi kepercayaan kepada orang lain, kita sedang menyiapkan penerus yang akan melanjutkan karya Tuhan setelah kita. Musa tidak hanya memimpin dengan tangan kuat, tetapi juga dengan hati yang rela berbagi.

Doa:

Tuhan, terima kasih atas berkat-Mu yang melimpah. Ajarku untuk tidak hanya menghitung berkat, tetapi juga mengelolanya dengan bijak. Tuntun aku untuk belajar mempercayai dan membimbing orang lain, agar melalui kerja bersama, nama-Mu semakin dimuliakan. Amin.


Renungan Singkat:
Berkat Tuhan menuntut tanggung jawab dan kerja sama. Kepemimpinan sejati bukan one-man show, tapi pengelolaan bersama yang berakar pada iman.

Tag / Label: Renungan Harian, Firman Tuhan, Kepemimpinan Kristen, Tanggung Jawab, Ulangan

Share:

Senjata Harapan

 "Ilustrasi Musa memberi pengharapan kepada bangsa Israel – Senjata Harapan (Ulangan 1:1–8)"

Senjata Harapan – Renungan dari Ulangan 1:1–8

Senjata Harapan

Bacaan: Ulangan 1:1–8

Ayat Kunci:
“TUHAN, Allahmu, telah berfirman kepada kita di Horeb demikian: Cukuplah kamu tinggal di gunung ini. Majulah, berangkatlah...”
Ulangan 1:6–7

Refleksi

Kitab Ulangan disebut Devarim oleh orang Ibrani — artinya “perkataan”. Nama ini mengingatkan kita bahwa firman Allah selalu dimulai dengan perkataan yang hidup. Seluruh kitab ini berisi wejangan terakhir Musa kepada bangsa Israel — generasi baru yang sedang bersiap melangkah ke Tanah Perjanjian.

Saat Musa berbicara, mereka sedang berada di tepi Sungai Yordan. Empat puluh tahun telah berlalu sejak mereka keluar dari Mesir. Generasi lama sudah tiada, dan kini berdirilah generasi baru — yang akan melanjutkan janji Tuhan. Di sinilah Musa berbicara bukan sekadar memberi perintah, tetapi menyalakan api pengharapan. Ia mengingatkan janji Allah yang pernah diucapkan: bahwa tanah perjanjian akan diberikan kepada mereka, sebagaimana Tuhan telah berfirman kepada nenek moyang mereka (ayat 7–8).

Namun, Musa tahu satu hal — sejarah bisa berulang. Generasi ini bisa saja jatuh ke dalam ketakutan dan ketidaktaatan seperti leluhur mereka. Karena itu, sebelum mereka berperang dengan pedang, mereka harus berperang dengan perkataan. Musa menanamkan firman, menyalurkan pengertian, dan membekali mereka dengan kebenaran. Perkataan yang lahir dari Allah menjadi senjata harapan yang menuntun mereka menembus ketidakpastian.

Refleksi Pribadi

Kita pun sedang berdiri di “tepi Yordan” kehidupan — menjelang babak baru, masa depan yang belum kita ketahui. Bulan-bulan berganti, tahun hampir berakhir. Di tengah harapan dan kecemasan, Tuhan juga berfirman kepada kita:

“Cukuplah kamu tinggal di gunung ini. Majulah...”

Ada waktu untuk berhenti, tetapi ada juga saatnya untuk melangkah. Ada masa untuk diam, tetapi ada pula saatnya untuk berbicara — menyampaikan firman pengharapan bagi generasi setelah kita.

Apa perkataan yang akan keluar dari mulut kita? Apakah ucapan kita menguatkan, meneguhkan, dan menyalakan iman di hati orang lain — terutama generasi muda yang sedang mencari arah hidupnya?

Musa tidak meninggalkan harta benda, tetapi warisan perkataan. Dan perkataan itu menuntun seluruh generasi menuju janji Tuhan.

Doa

Tuhan, ajarku untuk memperkatakan firman-Mu dalam setiap musim hidupku. Jadikan perkataanku sumber harapan bagi orang lain, terutama bagi generasi muda yang Engkau percayakan. Penuhi mulutku dengan kata-kata yang meneguhkan dan menyalakan iman. Biarlah melalui perkataan, aku ikut membawa mereka masuk ke dalam kehendak dan janji-Mu. Amin.

Renungan Singkat

Perkataan yang lahir dari iman adalah senjata harapan. Seperti Musa menuntun generasi muda Israel dengan firman, kita pun dipanggil untuk menyalakan pengharapan bagi generasi berikutnya melalui kata-kata yang menghidupkan.

Kategori: Renungan Harian | Firman Tuhan | Ulangan | Harapan Kristen

Share:

Keluwesan Hukum Sekunder

 Ilustrasi hukum Tuhan dan hikmat Allah – Bilangan 36
Keluwesan Hukum Sekunder

Bacaan: Bilangan 36:1–13

Ayat Kunci:
“Milik pusaka orang Israel jangan beralih dari suku yang satu kepada suku yang lain, karena setiap orang Israel harus memegang teguh milik pusaka sukunya.”
Bilangan 36:9

Refleksi

Dalam perjalanan iman, Tuhan memberi kita hukum-hukum yang menjadi penuntun hidup. Ada hukum yang bersifat utama dan kekal, yang tidak boleh diubah karena mencerminkan karakter Allah sendiri. Namun, ada juga hukum yang bersifat sekunder, yang dapat disesuaikan supaya prinsip utama itu tetap terjaga di tengah perubahan situasi manusia.

Kisah anak-anak perempuan Zelafehad menjadi gambaran indah tentang hal ini. Ketika ayah mereka meninggal tanpa anak laki-laki, mereka datang kepada Musa, memohon agar warisan keluarga tidak hilang. Musa membawa persoalan itu kepada Tuhan, dan Tuhan setuju agar warisan diberikan kepada mereka. Namun, ketika muncul kekhawatiran bahwa warisan itu bisa berpindah ke suku lain jika mereka menikah dengan orang luar, Tuhan kembali memberikan arahan: mereka boleh menikah dengan siapa pun yang mereka kasihi, asal masih dalam lingkungan suku mereka sendiri.

Dengan begitu, hukum utama — bahwa tanah pusaka tidak boleh berpindah tangan ke suku lain — tetap terjaga, tanpa meniadakan keadilan bagi mereka. Di sini kita melihat bahwa Allah tidak kaku dalam menerapkan hukum-Nya, tetapi selalu bijaksana dan penuh kasih.

Tuhan tidak hanya menginginkan ketaatan, tetapi juga pengertian yang lahir dari hati yang mengenal Dia. Ia ingin kita memahami hati di balik hukum, bukan sekadar hurufnya. Karena hukum diberikan bukan untuk membebani, melainkan untuk menjaga kehidupan dan menuntun kita pada kebenaran.

Perenungan Pribadi

Sering kali, kita terlalu cepat menilai sesuatu hanya berdasarkan aturan lahiriah. Namun Tuhan memanggil kita untuk lebih dalam — untuk melihat maksud, kasih, dan hikmat di balik setiap ketetapan-Nya.

Apakah selama ini aku hanya menaati peraturan tanpa memahami hati Tuhan di baliknya?
Apakah aku sudah meminta hikmat dari-Nya agar dapat menerapkan firman-Nya dengan kasih dan kebijaksanaan dalam hidup sehari-hari?

Doa

Tuhan, terima kasih karena Engkau bukan Allah yang kaku, tetapi penuh hikmat dan kasih. Ajar aku membedakan antara yang prinsip dan yang penerapan. Beri aku hati yang lembut untuk menaati bukan hanya hukum-Mu, tetapi juga kehendak dan kasih-Mu yang sejati. Amin.

Renungan Singkat

Allah memanggil kita untuk hidup dalam hikmat — memahami mana yang prinsip dan mana yang dapat disesuaikan tanpa mengubah kehendak-Nya. Hukum utama tetap kekal, tetapi kasih dan kebijaksanaan Allah memberi keluwesan dalam penerapan.

Kategori: Renungan Harian | Firman Tuhan | Hikmat Kristen | Bilangan

Share:

Allah Memelihara Orang yang Tak Bersalah

Allah bukan hanya adil, tetapi juga penuh kasih. Enam kota perlindungan disediakan agar orang yang membunuh tanpa sengaja tidak langsung dibalas dengan kematian. Di sana, mereka aman sampai mendapat pengadilan yang adil.

Keadilan Allah tidak tergesa-gesa menghukum. Ia memberi ruang untuk kebenaran terungkap, agar orang yang tidak bersalah tidak diperlakukan seperti orang jahat. Itulah kasih Allah — melindungi, bukan membinasakan.

Hidup ini pun kadang menuduh kita tanpa alasan. Namun, Allah tahu hati yang bersih. Ia menjadi tempat perlindungan kita ketika kita tidak dimengerti atau disalahpahami.

Mari belajar dari kota perlindungan ini: Allah selalu menyediakan tempat aman bagi orang yang tulus. Datanglah kepada-Nya — Dialah perlindungan sejati bagi setiap orang yang tidak bersalah. 🙏

Share:

Renungan Harian " Pemeliharaan Allah terhadap Hamba-Nya "

Allah tidak pernah menugaskan tanpa memelihara. Suku Lewi memang tidak menerima tanah pusaka, tetapi Allah menyediakan kota-kota untuk mereka tinggali, lengkap dengan tanah penggembalaan. Mereka melayani Tuhan, dan Tuhan sendirilah yang menjadi bagian mereka.

Pemeliharaan Allah nyata — bukan hanya dalam bentuk makanan atau tempat tinggal, tetapi juga jaminan hidup bagi mereka yang melayani-Nya. Allah menggerakkan umat untuk berbagi agar pelayanan tetap berjalan.

Begitu pula hari ini. Allah tetap setia memelihara setiap hamba-Nya — para pelayan, gembala, dan pekerja-Nya — melalui cara-cara yang sering kali sederhana, tetapi penuh kasih. Ia tahu kebutuhan kita bahkan sebelum kita memintanya.

Mari percaya, bahwa setiap panggilan yang datang dari Allah selalu disertai dengan pemeliharaan yang cukup dari-Nya. Tuhan tidak pernah lalai menjaga hamba-hamba-Nya. 🙏

Share:

Renungan Harian " Kepemimpinan yang Majemuk "

Allah mengajarkan bahwa keadilan dan keseimbangan dalam kepemimpinan lahir dari kebersamaan yang majemuk. Saat membagikan tanah Kanaan, Tuhan tidak hanya melibatkan Musa dan Yosua, tetapi juga Eleazar sang imam dan satu pemimpin dari tiap suku Israel. Semua diajak terlibat agar setiap suku merasa dihargai dan tidak ada yang diabaikan.

Kepemimpinan yang majemuk mencerminkan hikmat Allah. Ia tahu bahwa perbedaan bukan penghalang, tetapi sarana untuk menghadirkan keadilan. Melalui kebersamaan, keputusan menjadi lebih bijak dan diterima oleh semua pihak.

Dalam gereja maupun organisasi, kita pun dipanggil untuk membangun kepemimpinan yang melibatkan banyak suara — tua dan muda, laki-laki dan perempuan, dari latar yang beragam. Saat semua merasa didengar, keharmonisan pun terjaga.

Mari belajar dari Tuhan yang menghargai setiap bagian tubuh Kristus. Kepemimpinan yang majemuk bukan sekadar strategi manusia, melainkan cerminan keadilan dan kasih Allah yang bekerja di tengah umat-Nya. 🤝

Share:

Jangan Remehkan Rutinitas

Hidup tidak selalu diisi dengan peristiwa besar dan ajaib. Sebagian besar waktu kita justru dipenuhi oleh hal-hal yang tampak biasa—pekerjaan harian, tanggung jawab keluarga, rutinitas pelayanan. Namun, jangan remehkan hal-hal kecil itu, sebab Allah sering bekerja melalui yang biasa untuk membentuk iman kita.

Bangsa Israel juga mengalami hal serupa. Dalam perjalanan 40 tahun di padang gurun, Allah memerintahkan Musa mencatat setiap tempat persinggahan mereka. Banyak nama tempat yang tidak terkenal, namun semuanya penting—karena di sanalah Allah menyertai, menegur, dan memproses umat-Nya.

Begitu pula dengan kita. Allah hadir bukan hanya di “Ramses” dan “Laut Teberau” kehidupan kita—momen besar dan menakjubkan—tetapi juga di “Mara” dan “Elim” kita, di tengah rutinitas yang terasa biasa. Setiap hari adalah bagian dari karya besar Allah membentuk karakter dan iman kita.

Jadi, jangan remehkan rutinitas. Di balik hal-hal sederhana yang kita jalani hari ini, Allah sedang bekerja mempersiapkan kita bagi rencana-Nya yang mulia. 🌅

Share:

Renungan Harian : Motivasi dalam Permintaan

Allah senang ketika kita datang dan meminta kepada-Nya. Namun, yang Ia lihat bukan hanya apa yang kita minta, melainkan mengapa kita memintanya.

Bani Ruben dan Gad meminta tanah Yaezer dan Gilead karena cocok untuk ternak mereka. Sekilas tampak seperti keegoisan, tetapi ternyata mereka tetap mau ikut berperang bersama saudara-saudara mereka sampai seluruh Kanaan dikuasai. Setelah Musa mengetahui motivasi mereka benar, ia pun menyetujui permintaan itu.

Sering kali, doa dan permintaan kita tidak dijawab karena motivasi kita keliru—lebih untuk kepentingan diri sendiri daripada kemuliaan Allah. Yakobus pun menegaskan, “Kamu berdoa tetapi tidak menerima karena kamu salah berdoa.”

Tuhan ingin hati yang tulus dalam meminta. Bukan sekadar apa yang kita inginkan, tetapi apakah keinginan itu memuliakan Dia dan memberkati sesama. Mari belajar menata motivasi hati sebelum berdoa. Karena doa yang benar lahir dari hati yang selaras dengan kehendak Allah. 🙏

Share:

Renungan Harian🌾 Semua Menikmati Hasil Jerih Payah

 

📖 Ayat Renungan:

“Sebab seorang menerima upah dari jerih payahnya.”
Pengkhotbah 3:13b


Biasanya, orang yang bekerja keraslah yang menikmati hasil jerih payahnya. Namun, firman Tuhan hari ini mengajarkan sesuatu yang lebih dalam: Allah ingin agar berkat yang diperoleh juga dinikmati oleh mereka yang turut mendukung, meski tidak terlibat langsung.

Dalam Bilangan 31, ketika bangsa Israel menang atas orang Midian, mereka memperoleh banyak jarahan. Allah kemudian memerintahkan agar hasil itu dibagi dua:

  • Setengah untuk para prajurit yang berperang.

  • Setengah lagi untuk seluruh umat Israel yang tinggal di perkemahan (ayat 27).

Namun, pembagian itu tidak berhenti di situ. Dari bagian prajurit, sebagian kecil diberikan kepada para imam sebagai persembahan khusus kepada TUHAN (ayat 28–29). Dari bagian umat Israel, sebagian juga diberikan kepada orang Lewi yang melayani di Kemah Suci (ayat 30).

Dengan kata lain, semua orang mendapat bagian—yang berperang, yang melayani, dan yang menantikan di perkemahan. Allah ingin mengingatkan bahwa kemenangan dan keberhasilan bukan hanya hasil kerja satu pihak saja, tetapi hasil kerjasama seluruh komunitas umat Allah.

Prinsip ini juga berlaku bagi kita. Dunia sering menilai keberhasilan berdasarkan siapa yang bekerja paling keras atau paling terlihat. Namun Allah melihat lebih luas. Ia tahu bahwa di balik setiap keberhasilan, ada banyak tangan yang ikut menopang: keluarga yang berdoa, rekan kerja yang mendukung, teman yang memberi semangat, atau gereja yang menuntun dalam doa.

Maka, ketika kita menerima berkat dari hasil kerja kita, mari belajar untuk berbagi.
Berbagi dengan mereka yang mendukung kita, dan mempersembahkan sebagian bagi pekerjaan Tuhan di gereja. Sebab setiap keberhasilan sejatinya adalah kerja bersama, dan semua kemuliaan tetap milik Allah.

Renungkanlah hari ini:

Apakah aku sudah belajar berbagi dari apa yang Tuhan percayakan kepadaku?
Sudahkah aku mengucap syukur dengan memberi kembali kepada Tuhan dan sesama?

🙏 Doa Penutup:
Tuhan, terima kasih untuk setiap berkat dan keberhasilan yang Kau izinkan kualami. Ajar aku untuk tidak menyimpannya bagi diriku sendiri, tetapi membagikannya dengan penuh kasih kepada sesamaku dan kepada-Mu melalui gereja-Mu. Biarlah setiap hasil jerih payahku menjadi sarana untuk memuliakan nama-Mu.
Amin.

Share:

Renungan Harian : Nazar dan Kepemimpinan Laki-laki

Nazar adalah janji pribadi yang diucapkan langsung kepada Allah — sebuah komitmen yang sakral. Ketika seorang laki-laki bernazar, ia bertanggung jawab penuh untuk menepatinya (ay. 1–2). Namun, bagi seorang perempuan, nazarnya baru berlaku jika ayah atau suaminya tidak melarangnya (ay. 3–8). Jika ia seorang janda atau perempuan yang telah diceraikan, maka nazarnya berlaku bagi dirinya sendiri (ay. 9).

Peraturan ini bukan soal membatasi, tetapi menegaskan tanggung jawab dan kepemimpinan dalam keluarga. Allah menempatkan laki-laki — baik ayah maupun suami — sebagai pemimpin rohani dalam rumah tangga, yang turut bertanggung jawab atas keputusan-keputusan penting, termasuk nazar yang diucapkan di hadapan Tuhan.

Nazar bukan sekadar janji biasa. Alkitab menegaskan,

“Tepatilah nazarmu kepada Allah. Lebih baik engkau tidak bernazar daripada bernazar tetapi tidak menepatinya.” (Pkh. 5:3–4)

Janji kepada Tuhan bukan sesuatu yang bisa ditarik kembali ketika situasi berubah. Karena itu, kita perlu berhati-hati sebelum mengucapkan nazar. Jangan sampai janji yang dibuat karena emosi sesaat justru menjadi beban yang berat, seperti yang pernah dialami Yefta (Hak. 11:29–40).

Nazar adalah wujud kesungguhan hati kita di hadapan Allah. Sekali kita bernazar dan Tuhan mengabulkan permohonan kita, maka janji itu harus ditepati. Melalui hukum tentang nazar ini, Tuhan juga mengingatkan kita tentang pentingnya kepemimpinan rohani laki-laki dalam keluarga — bukan sekadar otoritas, tetapi tanggung jawab untuk menuntun keluarga hidup dalam kehendak Tuhan.

Mari kita belajar menghargai nazar sebagai bentuk kasih dan komitmen kepada Allah. Bagi para laki-laki, jadilah pemimpin yang bijak — yang mendengar, menuntun, dan melindungi keluarga sesuai firman Tuhan.

Dan bagi kita semua, marilah kita mengingat: setiap kata yang keluar dari mulut kita di hadapan Tuhan memiliki nilai kekal. Karena itu, biarlah setiap janji kita menjadi bukti kasih, ketaatan, dan kesetiaan kepada-Nya.

Pokok Doa

Tuhan, terima kasih atas kuasa-Mu yang melampaui segalanya. Sertai kami dalam setiap langkah — dalam keluarga, pekerjaan, pelayanan, dan usaha kami. Kiranya berkat-Mu mengalir atas rumah tangga kami, anak cucu kami, serta setiap pekerjaan tangan kami. Tambahkan hikmat dan kekuatan agar kami hidup dalam pimpinan-Mu, menepati setiap janji, dan berjalan seturut kehendak-Mu.
Dalam nama Tuhan Yesus, kami berdoa. Amin.

Share:

Pengakuan yang Jujur

Dua penjahat disalibkan di sisi kanan dan kiri Yesus. Pemandangan itu menjadi pengingat bahwa Yesus, yang sama sekali tidak bersalah, diperlakukan seolah-olah Ia adalah seorang penjahat. Dunia menempatkan Dia di antara orang berdosa — padahal Dialah yang datang untuk menyelamatkan mereka.

Para pemimpin agama mengejek-Nya dengan sinis:

“Orang lain Ia selamatkan, biarlah Ia menyelamatkan diri-Nya sendiri jika Ia benar Mesias, orang pilihan Allah!”
Prajurit-prajurit pun menambah hinaan dengan menawarkan anggur asam. Di atas kepala-Nya, mereka menulis, “Inilah Raja orang Yahudi” — tulisan yang mereka maksudkan sebagai ejekan, tapi sesungguhnya adalah kebenaran. Tanpa mereka sadari, mereka telah mengakui bahwa Yesus memang Raja — bukan hanya bagi orang Yahudi, tapi bagi seluruh dunia.

Di tengah olokan itu, dua suara terdengar dari salib di samping-Nya. Satu penjahat ikut menghina, sementara yang lain mulai menyadari siapa yang sedang disalib di tengah mereka. Dengan hati yang hancur, ia berkata,

“Kita memang pantas menerima hukuman ini, tetapi Ia tidak berbuat salah apa pun.”

Dalam kejujuran dan penyesalan itu, penjahat tersebut berani beriman,

“Yesus, ingatlah akan aku apabila Engkau datang sebagai Raja.”

Dan Yesus menjawab dengan kasih yang tak terbayangkan,

“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.”

Betapa luar biasanya kasih dan pengampunan Yesus. Di tengah penderitaan-Nya, Ia masih membuka pintu keselamatan bagi seorang berdosa yang jujur mengakui kesalahannya.

Kita pun diundang untuk memiliki hati seperti penjahat itu — hati yang berani mengakui dosa, menyesal, dan percaya bahwa Yesus sanggup mengampuni.
Tak ada dosa yang terlalu besar bagi-Nya, asalkan kita datang dengan kejujuran dan kerendahan hati.

Yesus adalah Raja yang penuh kasih. Ia tidak hanya berkuasa, tetapi juga rela mengampuni.
Pengakuan yang jujur membuka jalan bagi pengampunan dan hidup yang baru di dalam Dia.

Share:

Renungan Harian: Tangisilah Dirimu Sendiri

📖 Bacaan Alkitab:

Lukas 23:27–28

“Sejumlah besar orang mengikuti Yesus; di antaranya banyak perempuan yang menangisi dan meratapi Dia. Yesus berpaling kepada mereka dan berkata: ‘Hai putri-putri Yerusalem, janganlah menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri dan anak-anakmu.’”

🌿 Renungan

Dalam perjalanan menuju Golgota, Yesus yang sudah lemah dan penuh luka diiringi oleh perempuan-perempuan Yerusalem. Mereka menangis melihat penderitaan yang menimpa-Nya — tubuh yang berlumur darah, langkah yang tertatih di bawah beban salib. Hati mereka hancur oleh belas kasihan, namun mereka tak kuasa berbuat apa-apa.

Namun di tengah tangisan itu, Yesus justru berhenti dan berkata,

“Janganlah menangisi Aku, melainkan tangisilah dirimu sendiri.”

Kata-kata ini begitu lembut, tetapi juga tajam dan penuh makna. Yesus tidak menolak belas kasihan mereka, tetapi Ia ingin mengarahkan air mata mereka ke tempat yang lebih tepat — bukan pada penderitaan-Nya, melainkan pada keadaan rohani mereka sendiri.

Yesus tahu bahwa salib bukan akhir, melainkan jalan menuju keselamatan. Ia sedang menjalankan rencana kasih Bapa untuk menebus dunia. Tetapi bangsa Israel, dengan hati yang keras dan penuh kesombongan, justru menolak Dia. Itulah yang sesungguhnya perlu ditangisi — dosa, keangkuhan, dan ketidaktaatan manusia.

Sahabat, sering kali kita pun menitikkan air mata atas hal-hal duniawi: kesedihan, kehilangan, atau kegagalan. Tetapi jarang sekali kita menangisi dosa kita sendiri — sikap hati yang jauh dari Tuhan, keangkuhan yang membuat kita merasa benar, atau kebiasaan berdosa yang kita biarkan tumbuh dalam diam.

Yesus memanggil kita hari ini dengan suara kasih yang sama:
“Jangan hanya menangisi penderitaan-Ku. Tangisilah dirimu — akui dosamu, bertobatlah, dan biarkan Aku memulihkanmu.”

Air mata pertobatan adalah tanda hati yang hidup. Ketika kita sungguh menyesal dan berbalik kepada Tuhan, Ia menyambut kita dengan pengampunan dan kasih yang tidak pernah habis.

Jadi, mari kita tangisi bukan karena rasa bersalah yang menekan, tetapi karena kasih Allah yang begitu besar telah menyelamatkan kita. Biarlah tangisan kita menjadi awal dari perubahan hidup, langkah menuju pemulihan, dan wujud kasih yang sejati kepada Tuhan Yesus yang sudah menebus kita dengan darah-Nya.

💭 Perenungan Pribadi

  • Apakah aku lebih sering menangisi penderitaanku, daripada dosa-dosaku sendiri?

  • Adakah bagian dalam hidupku yang masih keras dan belum mau diubahkan oleh Tuhan?

  • Hari ini, apa langkah kecil yang bisa aku ambil untuk bertobat dan mendekat kepada Yesus?

🙏 Doa

Tuhan Yesus yang penuh kasih,
sering kali aku lebih sibuk menangisi hal-hal duniawi dan melupakan dosa-dosaku sendiri. Ampunilah aku, Tuhan. Lembutkan hatiku agar mau menangisi dosaku dan berbalik kepada-Mu.
Terima kasih karena Engkau sudah menanggung salib dan membuka jalan keselamatan bagiku.
Biarlah setiap air mata yang jatuh bukan karena keputusasaan, tetapi karena syukur dan pertobatan yang lahir dari kasih-Mu.
Dalam nama Yesus aku berdoa,
Amin.

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.