Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Kala Fajar Paskah Merekah

Markus 16:1-8 

Terbitnya fajar Paskah sudah tak bisa ditahan lagi. Tanda ini mampu dibaca dengan baik oleh para perempuan seperti yang disebutkan oleh Markus dalam kitabnya.

Mereka adalah Maria Magdalena, Maria ibu Yakobus, dan Salome (1a). Selewatnya hari Sabat, pagi-pagi benar, kala fajar merekah, mereka bergegas menuju ke tempat tubuh Tuhan dibaringkan (2).

Apa yang membuat mereka bergegas pergi ke kubur? Pengetahuan tentang tradisi penguburan dan cinta kasih bagi yang dikuburkan tentu menjadi alasan penting bagi mereka untuk menengok Yesus yang sudah terbaring kaku kala itu. Niat yang sudah dibangun sejak awal adalah meminyaki tubuh-Nya. Ini adalah wujud bakti kepada seorang Guru.

Dibawalah rempah-rempah dan minyak wangi untuk keperluan itu (1b). Ini merupakan persembahan sebagai tanda cinta dan bakti. Apakah bakti itu menjadi sia-sia ketika mereka tidak berjumpa dengan Tuhan yang dibaringkan? Tentu tidak. Apa pun yang dilakukan dengan penuh bakti, hasilnya selalu tidak terduga. Siapa menyangka kalau para perempuan itu akan mengalami peristiwa rohani kala fajar Paskah merekah?

Yesus yang hendak mereka minyaki sudah bangkit (6). Demikian yang disampaikan seorang muda berjubah putih dengan tutur kata lembut, "Jangan terkejut! Kamu mencari Yesus orang Nazaret, yang disalibkan itu. Ia telah dibangkitkan. Ia tidak ada di sini. Lihat! Inilah tempat mereka membaringkan Dia. Sekarang pergilah, katakanlah kepada murid-murid-Nya ..." (6-7). Kata-kata ini mampu mengusir ketakutan yang menyelimuti sebelumnya dan menggantinya dengan ketakutan yang lain, yakni takut akan dahsyatnya kuasa Tuhan (8).

Pengalaman berharga menyisakan kegentaran dahsyat dalam hati, sebuah cita rasa iman yang tak terkatakan. Itulah rasa istimewa yang dialami para perempuan sebagai berkah kala fajar Paskah merekah. Tuhan yang mereka cintai telah bangkit dari kematian. Bila kita juga mendapatkan pengalaman sedemikian berharga, tentu kita akan menyimpannya sebagai perenungan kita sepanjang hidup.

Share:

Saatnya Berguru dalam Kesunyian

Markus 15:42-47 
Hari Sabtu setelah Jumat Agung menjadi hari yang sunyi. Pada hari menjelang Sabat itu, Sang Putra Allah benar-benar telah menyerahkan nyawa-Nya. Itulah saat para pengikut-Nya memasuki kesunyian. Duka menyelimuti hati mereka. Namun, dalam kesunyian penuh ratapan pun, karya Tuhan tak terhenti. Justru melalui kematian-Nya Dia mengerjakan penghapusan dosa.
Itulah mengapa saat Tuhan berhenti dari pelayanan-Nya, tidak serta-merta semua berakhir. Justru, dari situlah lahir permulaan baru karena muncul pengampunan dan pengudusan. Tuhan terus bekerja walau dalam senyap dan seolah-olah menghilang. Itu pula yang terjadi ketika Sang Putra Allah turun ke dalam kerajaan maut. Ini adalah kematian yang melahirkan kehidupan baru yang kekal melalui kisah kebangkitan.
Bagi mata biasa, seolah-olah penguburan Yesus menandai kekalahan-Nya, sehingga tidak heran bila Pilatus mengizinkan pengambilan jenazah Yesus (44-45). Namun, sesungguhnya, Sang Sumber Kasih itu tengah melakukan penggenapan janji Allah, sebuah janji yang bertujuan untuk menebus manusia dan membukakan jalan keselamatan. Hal ini menandai kemenangan cinta kasih sebagai penyedia kehidupan.
Jadilah, sunyi itu sejatinya hidup dan bukan mati. Berbahagialah Yusuf Arimatea, Maria Magdalena, dan Maria ibu Yoses yang menyaksikan secara langsung tempat Sang Putra Allah dibaringkan (46-47). Tempat di mana perkabungan diadakan kelak menjadi tempat yang kemudian menghadirkan kebangkitan.
Sudah tiba saatnya untuk berguru dalam kesunyian. Pada hari Sabtu Suci, yang juga dikenal dan dikenang sebagai Sabtu Sunyi, tiba waktunya untuk menyimak kata-kata perenungan dalam keheningan.
Mari kita mencari ruang dan waktu yang sepi, sebelum matahari pagi hari Paskah terbit. Di tengah senyapnya malam hari, mari kita menyelami besarnya rahmat Sang Penyelamat. Dialah Juru Selamat sekaligus Guru Kehidupan kita! Kiranya Sang Sumber Hidup kian mengajari telinga kita untuk mendengarkan penyataan-Nya dengan hati yang sunyi dan suci.
Share:

Siapakah yang Peduli?

Markus 15:33-41 

Siapakah yang masih punya hati untuk mendengarkan teriakan Dia yang tersalib?
"Eloi, Eloi, lama sabakhtani? ... Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?" (34). Siapakah yang tahan mendengar jeritan Sang Putra Allah? Saat Dia yang tersalib itu hendak meregang nyawa-Nya, masih adakah yang peduli?
Injil Markus mengisahkan keberadaan para perempuan yang melihat Dia dari kejauhan (40-41). Mereka mengikuti dan melayani Yesus di Galilea, mereka juga menyaksikan penyaliban-Nya di Golgota.
Kedatangan para perempuan ini mengisyaratkan suatu ironi. Ketika sosok maskulin yang mestinya adalah para pemimpin rohani begitu arogan mementaskan budaya kematian di sepanjang perjalanan ke Golgota, sosok feminin yang dipandang sebagai kalangan kelas dua justru menyuarakan budaya kehidupan. Ini adalah tanda bahwa nilai welas asih masih hidup dalam diri mereka dan mereka tidak mau tunduk kepada budaya kematian.
Namun, siapa sangka, kala Sang Putra Allah berteriak nyaring hendak menyerahkan nyawa-Nya (37), terjadilah tanda yang tak terbantahkan. Tabir Bait Suci yang memisahkan Allah Yang Mahakudus dan manusia berdosa terbelah dua (38). Ini tanda bahwa pendamaian antara Allah dan umat-Nya telah disediakan. Saat inilah yang menjadi momen berharga di mana seorang kepala pasukan Romawi yang jelas adalah musuh bangsa Yahudi mengutarakan sebuah pengakuan, "Sungguh, orang ini Anak Allah!" (39).
Situasi ini menunjukkan realita yang tidak selaras dengan persepsi ideal yang selama ini dibanggakan. Orang yang memandang dirinya sebagai orang benar belum tentu menjadi orang yang peduli akan jeritan Sang Mesias, apalagi sesama. Ketika mereka lebih sibuk untuk menemukan kesalahan dan melontarkan penghinaan, justru orang-orang yang acap kali dipandang sebagai orang tak layaklah yang rela untuk melihat dan mengaku.
Kini, saat kematian-Nya dikenang, siapakah yang peduli? Siapakah yang mau memandang penyaliban-Nya dengan hati yang penuh welas asih?
Share:

Matinya Simpati dan Empati

Markus 15:20-32 
Penyaliban merupakan hukuman yang paling keji pada masa Yesus. Tidak heran, ketika hukuman ini dijatuhkan kepada Yesus, rangkaian penghinaan kejam pun dikerjakan secara sistematis.
Pukulan dan ludah hujatan bercampur kata-kata penghinaan dipersembahkan kepada-Nya. Bahkan, orang yang baru datang dari luar kota, Simon dari Kirene, dipaksa untuk memikul salib Yesus (21). Penghinaan berlanjut ketika anggur bercampur mur yang pahit dihidangkan dan pakaian-Nya diundi (23-24).
Belum cukup mahkota duri yang dikenakan ke atas kepala-Nya, salam penuh sindiran yang diserukan untuk melecehkan Dia, "Raja orang Yahudi", juga dituliskan dan dipasang di atas kayu salib (26, bdk. Mrk 15:18).
Jadilah bukit yang memiliki nama mengerikan, "Tempat Tengkorak", menjadi panggung penghinaan paling keji. Seolah-olah semua orang dari berbagai kalangan mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menghina Yesus (29-32). Peristiwa keji di Golgota akhirnya benar-benar menjadi kisah matinya simpati dan empati dari banyak manusia yang menyaksikannya.
Pemandangan di Bukit Golgota tampak sangat mengenaskan. Sang Putra Allah yang tersalib kelihatan tak berdaya. Ia dibiarkan dalam kesendirian dan kesunyian. Tak ada yang mendekat dan memberikan kata-kata penguatan maupun penghiburan.
Kegelapan benar-benar menguasai jagat raya, bukan hanya kegelapan secara kasat mata, melainkan kegelapan yang telah menguasai hati manusia. Gelapnya hati memadamkan watak welas asih dalam kehidupan dan menandai betapa berkuasanya kematian.
Di tengah situasi demikian, di manakah kuasa Sang Sumber Kehidupan? Mengapa Sang Putra dibiarkan dalam ketidakberdayaan? Semua penghinaan dengan rela ditanggung oleh-Nya karena begitu besarnya kasih Allah bagi manusia berdosa. Di tengah matinya simpati dan empati manusia, justru simpati dan empati Sang Juru Selamat inilah yang memampukan kita untuk kembali bersimpati dan berempati kepada sesama.
Share:

Kristus Yang Penuh Belas Kasihan

Markus 8:1-10

Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak ini. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Dan jika mereka Kusuruh pulang ke rumahnya dengan lapar, mereka akan rebah di jalan, sebab ada yang datang dari jauh.

- Markus 8:2-3

Kita yang aktif berjemaat di gereja pasti mengenal atau minimal pernah mendengar tentang pelayanan diakonia. Pelayanan diakonia adalah tugas panggilan gereja untuk memperhatikan orang-orang yang berkekurangan secara materi berdasarkan rasa belas kasihan. Mengapa gereja perlu melakukan pelayanan diakonia? Karena Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk melakukannya. Karena itu, gereja mula-mula mengikuti teladan Kristus memulai pelayanan diakonia (lih. Kis. 6:1-7). Perikop bacaan hari ini mencontohkan bagaimana Kristus yang penuh belas kasihan memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh orang banyak.

Yesus masih berada di daerah Dekapolis dan mengajar sejumlah besar orang banyak (ay. 1). Mereka telah mengikuti Yesus selama tiga hari dan saat itu sudah tidak mempunyai makanan. Yesus tergerak melihat kondisi lapar orang banyak tersebut dan jika disuruh pulang dengan perut kosong mereka akan rebah (pingsan di terjemahan Alkitab lain) di jalan (ay. 2-3). Seperti kejadian sebelumnya, murid-murid meresponi keprihatinan Yesus dengan ketidakberdayaan. Namun, Yesus mengetahui apa yang harus dilakukan-Nya. Dia akan berbuat mukjizat dengan tujuh roti yang tersisa (ay. 5). Setelah menyuruh orang banyak duduk, Dia mengambil tujuh roti tersebut, mengucap syukur, memecah-mecahkan, dan memberikannya kepada murid-murid-Nya untuk dibagi-bagikan (ay. 6). Demikian juga diperbuat-Nya dengan beberapa ikan yang mereka punyai (ay. 7). Pada hari itu, ada kira-kira empat ribu orang makan dengan kenyang dan bahkan masih tersisa tujuh bakul! (ay. 8). Setelah orang banyak itu kenyang, baru Yesus menyuruh mereka pulang (ay. 9).

Jika memperhatikan sekeliling kita, ada banyak orang yang memerlukan bantuan, entah pangan, pakaian maupun papan. Sebagai orang-orang beriman, kita perlu meneladani Kristus Yesus dengan membuka mata dan hati yang penuh belas kasihan saat melihat kondisi mereka. Mari bergerak melakukan tindakan nyata untuk menolong mereka. Rasul Yakobus mengingatkan kita bahwa iman tanpa perbuatan yang nyata, pada dasarnya mati (Yak. 2:17). Bantuan kita akan meringankan beban mereka. Kita bisa melakukannya secara pribadi ataupun berkelompok melalui pelayanan diakonia gereja.


Refleksi Diri:

Bagaimana Anda bisa terlibat dalam pelayanan menolong mereka yang membutuhkan, baik secara pribadi ataupun melalui pelayanan diakonia gereja?

Apakah Anda sudah membuka mata dan memberikan hati yang berbelas kasihan kepada mereka yang membutuhkan bantuan Anda?"

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.