Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Renungan Harian " Siapakah Engkau "

Bayangan orang di padang gurun yang menunjuk ke arah cahaya terang.
Siapakah Engkau? Sebuah Refleksi Tentang Melepaskan Jubah Keakuan
Dunia seringkali memaksa kita untuk menjadi "seseorang". Kita diminta membangun personal branding, menumpuk gelar, dan memamerkan pencapaian agar dianggap ada. Di tengah bisingnya tuntutan untuk menjadi yang utama, sebuah pertanyaan kuno menggema kembali kepada kita hari ini: "Siapakah engkau?"

Pertanyaan ini pernah dilemparkan kepada Yohanes Pembaptis. Ia punya panggung, ia punya massa, dan ia punya pengaruh. Secara manusiawi, ia bisa saja mengaku sebagai Elia atau bahkan Mesias yang dinanti-nanti. Namun, jawaban Yohanes sungguh menggetarkan hati: "Aku bukan..."

Keberanian untuk Menjadi Kecil Ada kekuatan yang luar biasa dalam kalimat "Aku bukan". Yohanes Pembaptis mengajarkan kita bahwa jati diri yang sejati tidak ditemukan dalam pengakuan dunia, melainkan dalam pengakuan akan siapa Yesus bagi kita.

Ia tahu persis posisinya. Ia hanyalah sebuah suara, bukan Sang Firman. Ia hanyalah saksi, bukan Sang Terang. Bahkan, ia merasa tidak layak sekadar membuka tali kasut Yesus—tugas seorang hamba yang paling rendah sekalipun. Yohanes tidak sedang rendah diri (insecure), ia sedang rendah hati. Ia merasa kecil karena ia telah melihat betapa besarnya Tuhan.

Menemukan Jati Diri dalam Kerendahan Hati Seringkali, masalah dalam hidup kita muncul karena kita terlalu lelah mencoba menjadi pusat dari segalanya. Kita merasa harus mengendalikan semua hal, harus dipuji, dan harus berhasil. Namun, Yohanes mengajak kita untuk beristirahat dari ambisi yang melelahkan itu.

Identitas kita yang paling mulia bukanlah saat kita menjadi "pusat", melainkan saat kita menjadi "penunjuk jalan". Bahwa hidup kita, tutur kata kita, dan luka-luka kita sekalipun, bisa menjadi saksi yang mengarahkan orang lain kepada Yesus, Sang Mesias.

Respon Pribadi Anda Mari masuk ke dalam ruang batin yang paling jujur hari ini:

  • Jika hari ini label kesuksesan, jabatan, dan hartamu ditanggalkan, siapakah engkau di hadapan Tuhan?

  • Apakah ada bagian dalam hidupmu di mana engkau masih mencoba mencuri kemuliaan Tuhan dan ingin dianggap sebagai "pusat"?

  • Maukah engkau hari ini berdamai dengan ketidaksempurnaanmu, dan membiarkan Yesus menjadi satu-satunya yang besar di dalam hidupmu?

Doa untuk Hari Ini

"Tuhan Yesus, Sang Terang yang Sejati, terima kasih karena Engkau telah menemukanku saat aku kehilangan jati diri. Ampuni aku jika selama ini aku terlalu sibuk membangun istanaku sendiri dan lupa bahwa akulah yang seharusnya menjadi pembuka jalan bagi kemuliaan-Mu.

Tanamkanlah di hatiku kerendahan hati seperti Yohanes Pembaptis. Mampukan aku untuk berani berkata 'Bukan aku, tapi Kristus' dalam setiap pekerjaanku, pelayananku, dan tutur kataku. Ajarlah aku merasa cukup hanya dengan menjadi hamba-Mu, karena di dalam ketaatan itulah aku menemukan tujuan hidupku yang sebenarnya. Jadikanlah hidupku saksi-Mu yang setia hari ini. Amin."

Share:

Renungan Harian " Pesan Natal yang Sejati "

Sebuah lilin yang menyinari kegelapan, melambangkan Terang yang datang ke dunia.
 
Saat Sang Pencipta Mengetuk Pintu Rumah Kita

Bagi banyak orang, Natal identik dengan kerlip lampu, pohon yang dihias, atau kehangatan keluarga. Namun, Yohanes membawa kita jauh sebelum semua itu ada—ia membawa kita pada kekekalan.

"Pada mulanya adalah Firman..."

Bayangkan ini: Sang Logos, kekuatan yang mengatur seluruh keteraturan alam semesta, Prinsip Agung yang menciptakan bintang dan galaksi, ternyata tidak ingin tinggal jauh di "dunia ide" yang impersonal. Dia tidak ingin menjadi Tuhan yang hanya kita pelajari lewat buku teologi atau hukum-hukum yang kaku.

Dia memilih untuk menjadi manusia. Dia memilih untuk memiliki detak jantung, merasakan haus, dan menghirup udara yang sama dengan kita.

Tuhan yang "Berkemah" di Samping Kita

Dalam ayat 14 dikatakan, "Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita." Kata "diam" di sini dalam bahasa aslinya berarti "mendirikan kemah". Tuhan tidak hanya mampir sebentar; Dia mendirikan kemah-Nya di tengah lingkungan kita yang berantakan, di tengah duka kita, dan di tengah kegelapan dosa kita.

Inilah puncak dari kasih: Allah tidak hanya mengirim pesan keselamatan, Dia menjadi pesan itu sendiri. Dia tidak hanya menunjukkan jalan, Dia menjadi Jalan itu.

Respon Pribadi untuk Hatimu

Sering kali kita merasa Allah itu jauh. Kita merasa bahwa untuk bertemu Allah, kita harus menjadi suci terlebih dahulu, atau mendaki gunung kesalehan yang sangat tinggi. Namun Yohanes 1 mengingatkan kita bahwa Dia yang turun mendatangi kita.

Hari ini, mari kita bertanya secara pribadi ke dalam batin kita:

  • Apakah aku masih melihat Natal hanya sebagai perayaan lahirnya "bayi Yesus", atau aku sudah menyadari bahwa ini adalah kehadiran Pencipta Semesta dalam hidupku?

  • Di bagian hidupku yang mana yang saat ini terasa gelap? Maukah aku membiarkan Sang Terang itu masuk dan meneranginya tanpa rasa malu?

  • Tuhan sudah "mendirikan kemah"-Nya di dunia ini. Apakah aku sudah membuka pintu "kemah" hatiku agar Dia tinggal di dalamnya?

Natal adalah undangan untuk sebuah hubungan. Bukan sekadar tahu tentang Dia, tapi mengenal Dia secara pribadi.

Doa Hari Ini

Ya Tuhan Yesus, Sang Firman yang kekal. Aku tertegun menyadari bahwa Engkau yang begitu agung bersedia menjadi begitu kecil dan terbatas demi aku. Terima kasih karena Engkau tidak membiarkanku berjalan sendiri dalam kegelapan.

Hari ini, aku menyambut Terang-Mu. Terangilah sudut-sudut hatiku yang masih tersembunyi, yang masih penuh dengan keraguan dan dosa. Ampuni aku jika selama ini aku hanya merayakan Natal tanpa benar-benar merayakan kehadiran-Mu.

Ajarlah aku untuk hidup dalam anugerah demi anugerah-Mu. Biarlah melalui hidupku, orang lain juga bisa melihat sedikit cahaya dari Terang-Mu yang abadi. Amin.

Share:

Renungan Harian " Hidup dalam Perjanjian "

Ilustrasi perjanjian dan kesetiaan Tuhan melalui simbol tangan yang memegang erat di padang gurun.
 
Bukan Sekadar Janji, Tapi Penyerahan Hati

Pernahkah kita menoleh ke belakang dan menyadari bahwa setiap jengkal langkah kaki kita sebenarnya adalah jejak pemeliharaan Tuhan?

Dalam Ulangan 29, Musa membawa bangsa Israel ke sebuah "ruang hening" sebelum mereka melangkah lebih jauh. Ia mengingatkan mereka tentang 40 tahun di padang gurun—masa di mana kasut mereka tidak rusak dan pakaian mereka tidak hancur. Bukan karena mereka kuat, tapi karena ada pribadi yang berdaulat yang menuntun mereka.

Dipanggil untuk Berdiri di Hadapan-Nya

Hal yang paling menyentuh dari bab ini adalah betapa "inklusifnya" panggilan Tuhan. Dia tidak hanya memanggil para pemimpin atau imam besar. Dia memanggil semua orang: laki-laki, perempuan, anak-anak, bahkan hingga tukang belah kayu dan penimba air.

Di hadapan Tuhan, status sosial kita luruh. Kita semua berdiri di level yang sama—sebagai penerima anugerah. Tuhan ingin mengikat Berit (perjanjian) bukan karena Dia membutuhkan kita, tetapi karena Dia begitu mengasihi kita. Dia ingin menjadi Allah kita, dan Dia ingin kita menjadi umat-Nya. Sebuah hubungan yang intim, mengikat, dan kekal.

Mengapa Kita Sering Berpaling?

Musa memberikan peringatan yang lembut namun tegas: jangan sampai ada akar pahit yang menghasilkan racun atau empedu di antara kita. Sering kali, setelah mengalami keajaiban Tuhan, hati kita perlahan mengeras dan kita mulai merasa "mampu" tanpa-Nya. Kita mulai melirik "ilah-ilah" modern—entah itu ambisi, harta, atau pengakuan manusia—yang kita pikir bisa memberi keamanan lebih dari Tuhan.

Padahal, rahasia dari hidup yang diberkati bukanlah tentang seberapa keras kita berusaha, melainkan seberapa setia kita tinggal dalam perjanjian-Nya.

Respon Pribadi untuk Hatimu

Hari ini, mari kita berhenti sejenak dari hiruk-pikuk pencapaian dunia dan bertanya pada diri sendiri:

  • Jika aku menoleh ke belakang, sanggupkah aku melihat tangan Tuhan yang menjaga "kasut dan pakaian" hidupku hingga hari ini?

  • Adakah "ilah" lain di hatiku yang saat ini lebih aku andalkan daripada janji Tuhan?

  • Maukah aku hari ini kembali berdiri di hadapan-Nya, bukan sebagai pekerja-Nya, tapi sebagai anak kesayangan-Nya yang menyerahkan ketaatan sepenuhnya?

Tuhan tidak meminta kesempurnaan kita. Dia meminta kesetiaan kita.

Doa Hari Ini
Bapa yang Mahakasih, terima kasih karena Engkau telah memilihku menjadi umat kesayangan-Mu, bukan karena kehebatanku, melainkan murni karena anugerah-Mu. Terima kasih untuk penyertaan-Mu yang tak pernah putus, bahkan di masa-masa padang gurun dalam hidupku.

Tuhan, selidikilah hatiku. Jika ada akar pahit atau berhala yang mulai tumbuh dan menjauhkanku dari-Mu, cabutlah hingga ke akarnya. Berikanlah aku hati yang teguh untuk memegang perjanjian-Mu. Ajarlah aku untuk taat, bukan karena takut, melainkan karena aku tahu betapa besarnya kasih-Mu kepadaku. Biarlah seluruh hidupku, mulai hari ini, menjadi kesaksian akan kesetiaan-Mu. Amin.

Share:

Renungan Harian " Tuhan Mau Hatimu "

Seseorang sedang berdoa dengan tulus sebagai simbol penyerahan hati kepada Tuhan.
 

Ulangan 28:47-68

Saat Kelimpahan Menjadi Hampa: Benarkah Tuhan Memiliki Hatimu?

Kita sering berpikir bahwa berkat Tuhan adalah tujuan akhir. Kita merasa aman saat lumbung penuh, kesehatan terjaga, dan hidup berjalan sesuai rencana. Namun, melalui Ulangan 28:47-68, kita diingatkan akan sebuah kebenaran yang menggetarkan: Tuhan tidak hanya melihat apa yang kita bawa ke hadapan-Nya, tetapi Ia menilik alasan mengapa kita membawanya.

Bangsa Israel berada dalam titik yang menyedihkan. Bukan karena mereka kekurangan, melainkan karena di tengah kelimpahan, mereka kehilangan satu hal yang paling berharga: Sukacita dan kegembiraan hati dalam mengabdi kepada Tuhan.

Antara Formalitas dan Ketulusan

Pernahkah kita merasa bahwa datang ke gereja, berdoa, atau melayani hanyalah sebuah daftar tugas yang harus dicentang? Sebuah rutinitas tanpa rasa, atau formalitas untuk menenangkan hati nurani?

Bayangkan jika seseorang datang kepada kita, memberikan hadiah besar, namun kita tahu hatinya sedang berpaling atau melakukannya dengan terpaksa. Bukankah itu terasa seperti penghinaan? Demikian pula dengan Tuhan. Penyembahan yang kosong adalah kepalsuan di hadapan Sang Pencipta. Firman-Nya mengingatkan dengan keras: saat hati kita menjauh, kelimpahan bisa berubah menjadi kepapaan, dan berkat bisa memudar menjadi kutukan. Tuhan tidak menginginkan ritual kita; Dia menginginkan kita.

Mari berhenti sejenak dan bertanya ke dalam relung hati yang paling dalam:

  • Apakah aku bersyukur karena aku mencintai Tuhan, atau hanya karena aku takut kehilangan berkat-Nya?

  • Adakah sukacita yang tersisa saat aku melayani, ataukah hatiku telah menjadi keras karena rutinitas?

  • Jika hari ini semua kelimpahan ini diambil, apakah aku masih memiliki alasan untuk menyembah-Nya dengan hati yang gembira?

Percuma untaian doa yang panjang jika tanpa rasa. Percuma tangan yang memberi jika tanpa kerendahan hati. Tuhan tidak bisa disuap dengan aktivitas agama kita; Ia hanya ingin ditemukan di dalam kejujuran hati kita.

Respons Pribadi: Kembali ke Maksud Semula

Hari ini, mari kita merespons suara lembut-Nya:

  1. Evaluasi Niat: Sebelum memulai aktivitas atau pelayanan, tanyakan: "Tuhan, apakah aku melakukan ini untuk-Mu atau untuk diriku sendiri?"

  2. Minta Hati yang Baru: Akui jika saat ini hatimu terasa hambar dan dingin terhadap hal-hal rohani.

  3. Temukan Satu Alasan Bersyukur: Di luar materi dan fasilitas, bersyukurlah karena Ia masih memilih untuk mencintai kita apa adanya.

Doa untuk Melakukan Firman

Bapa yang Mahatahu, Engkau adalah Dia yang menyelidiki batin dan menimbang setiap niat. Ampuni aku jika selama ini penyembahanku hanyalah topeng, dan pelayananku hanyalah rutinitas yang kering tanpa sukacita. Aku menyadari bahwa segala kelimpahan yang kupunya tidak ada artinya jika hatiku menjauh dari-Mu.

Tuhan, lembutkanlah hatiku yang mulai membatu. Nyalakan kembali api kasih dan kegembiraan yang tulus di dalam diriku. Ajarlah aku untuk melayani-Mu bukan karena terpaksa atau sekadar aturan, melainkan karena aku sungguh mencintai-Mu. Biarlah setiap doaku menjadi percakapan kasih, dan setiap persembahanku menjadi wujud syukur yang mendalam.

Aku menyerahkan hatiku sepenuhnya kepada-Mu. Biarlah hidupku menjadi penyembahan yang harum bagi-Mu.

Dalam nama Tuhan Yesus, aku berdoa. Amin.

Share:

Renungan Harian " Ngerinya Upah Ketidaksetiaan "

Ilustrasi pilihan hidup antara jalan ketaatan dan ketidaksetiaan.
Di Balik Ketidaksetiaan: Saat Jiwa Kehilangan Perlindungan-Nya

Kita sering berbicara tentang berkat, namun jarang sekali kita berani menatap wajah "akibat" dari pilihan kita sendiri. Dalam Ulangan 28:15-46, kita dihadapkan pada sebuah realitas yang menggetarkan hati: bahwa ketidaksetiaan bukan sekadar kesalahan kecil, melainkan langkah kaki yang menjauh dari satu-satunya sumber kehidupan.

Sebuah Kehilangan yang Menyeluruh Bayangkan sebuah kehidupan di mana setiap sudut yang kita tempuh terasa gersang. Alkitab menggambarkan kutukan ketidaksetiaan menjamah segala lini—dari tempat kita bekerja (ladang), tempat kita menyimpan rezeki (bakul), hingga langkah kaki saat kita masuk dan keluar.

Ini bukan tentang Tuhan yang ingin menghukum dengan kejam, melainkan tentang apa yang terjadi ketika kita memutuskan untuk "berjalan sendiri" di luar naungan-Nya. Tanpa Tuhan, usaha kita menjadi sia-sia, dan keberhasilan kita berubah menjadi kehampaan. Saat kita tidak setia, kita sebenarnya sedang membangun tembok yang menghalangi aliran kasih karunia-Nya dalam hidup kita.

Kasih yang Memanggil Melalui Keadilan Mungkin kita bertanya: "Mengapa Tuhan yang pengasih membiarkan hal semengerikan itu terjadi?" Saudaraku, Tuhan terlalu mengasihi kita untuk membiarkan kita terus tersesat dalam pemberontakan. Rasa sakit, kekecewaan, dan "upah" dari ketidaksetiaan seringkali adalah cara Tuhan "mencubit" nurani kita agar kita sadar: di luar Dia, kita benar-benar tidak memiliki apa-apa. Keadilan-Nya memastikan ada konsekuensi, namun kasih-Nya selalu menyediakan jalan untuk pulang.

Respon Pribadi: Dimana Hatiku Berada? Mari sejenak masuk ke dalam keheningan dan bertanya pada diri sendiri:

  • Apakah ada bagian dari hidupku—pekerjaan, keluarga, atau hobi—yang sedang aku jalankan tanpa melibatkan Tuhan?

  • Apakah aku lebih takut pada kesulitan hidup daripada takut mendukakan hati Tuhan?

Kesetiaan bukanlah tentang melakukan peraturan dengan kaku, melainkan tentang menjaga hubungan cinta dengan Dia. Hari ini, Tuhan tidak sedang menudingkan jari-Nya untuk menghakimimu, melainkan membentangkan tangan-Nya agar kau kembali setia.

Doa untuk Melangkah

Bapa yang Kudus dan Adil,

Tunduk di hadapan-Mu, aku menyadari betapa seringnya hatiku tidak setia. Aku sering berjalan menurut keinginanku sendiri, seolah-olah aku mampu mengatur hidupku tanpa-Mu. Ampuni aku jika ketidaksetiaanku telah mendukakan hati-Mu.

Tuhan, aku tidak ingin hidup dalam "kekeringan" karena jauh dari-Mu. Lembutkanlah hatiku agar aku senantiasa mendengar suara-Mu. Berikanlah aku kekuatan dan keteguhan hati untuk tetap setia, baik dalam suka maupun duka, di kota maupun di ladang, saat masuk maupun saat keluar.

Biarlah hidupku menjadi bukti bahwa kasih-Mu memulihkan dan keadilan-Mu membimbingku di jalan yang benar. Aku ingin bersandar sepenuhnya hanya pada-Mu.

Amin.

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.