Kata-kata itu bukan hanya pengakuan seorang pemimpin, tetapi juga penegasan kebenaran: Yesus benar-benar tidak bersalah.
Bahkan Raja Herodes pun tak mendapati kesalahan pada-Nya. Semua bukti menunjukkan bahwa Yesus tidak layak dihukum mati. Namun, tekanan dari para imam kepala dan ahli Taurat begitu kuat. Mereka berteriak meminta kematian Yesus — dan Pilatus akhirnya menyerah. Ia membebaskan Barabas, seorang pemberontak dan pembunuh, tetapi menyerahkan Yesus kepada kehendak mereka.
Di sinilah tampak kelemahan Pilatus sebagai pemimpin. Ia tahu apa yang benar, tetapi ia tidak berani mempertahankannya. Demi menjaga jabatan dan ketenangan politiknya, ia menutup mata terhadap keadilan. Ia memilih mengikuti arus suara orang banyak daripada mengikuti suara hati nuraninya.
Yesus — yang benar dan tak bercela — akhirnya harus menanggung akibat dari keputusan yang tidak adil itu. Ia dihukum mati bukan karena kesalahan-Nya, melainkan karena dosa manusia. Namun justru lewat ketidakadilan itulah, rencana keselamatan Allah dinyatakan.
Yesus rela menanggung hukuman yang bukan milik-Nya, supaya kita yang berdosa boleh dibenarkan. Bila Ia memiliki kesalahan, Ia tak mungkin bisa menjadi Penebus kita. Tapi karena Ia suci dan sempurna, pengorbanan-Nya sah untuk menebus dosa seluruh manusia.
Ketika kita merenungkan hal ini, kita diingatkan untuk hidup dalam kebenaran, bukan dalam kompromi.
Jangan sampai kita menjadi seperti Pilatus — tahu yang benar, tetapi takut untuk menyatakannya.
Katakan ya jika itu benar, dan tidak jika itu salah.
Yesus telah memberi teladan: yang tidak bersalah rela menanggung kesalahan, supaya kita menjadi benar di hadapan Allah.








Tidak ada komentar:
Posting Komentar