Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Matinya Simpati dan Empati

Markus 15:20-32 
Penyaliban merupakan hukuman yang paling keji pada masa Yesus. Tidak heran, ketika hukuman ini dijatuhkan kepada Yesus, rangkaian penghinaan kejam pun dikerjakan secara sistematis.
Pukulan dan ludah hujatan bercampur kata-kata penghinaan dipersembahkan kepada-Nya. Bahkan, orang yang baru datang dari luar kota, Simon dari Kirene, dipaksa untuk memikul salib Yesus (21). Penghinaan berlanjut ketika anggur bercampur mur yang pahit dihidangkan dan pakaian-Nya diundi (23-24).
Belum cukup mahkota duri yang dikenakan ke atas kepala-Nya, salam penuh sindiran yang diserukan untuk melecehkan Dia, "Raja orang Yahudi", juga dituliskan dan dipasang di atas kayu salib (26, bdk. Mrk 15:18).
Jadilah bukit yang memiliki nama mengerikan, "Tempat Tengkorak", menjadi panggung penghinaan paling keji. Seolah-olah semua orang dari berbagai kalangan mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk menghina Yesus (29-32). Peristiwa keji di Golgota akhirnya benar-benar menjadi kisah matinya simpati dan empati dari banyak manusia yang menyaksikannya.
Pemandangan di Bukit Golgota tampak sangat mengenaskan. Sang Putra Allah yang tersalib kelihatan tak berdaya. Ia dibiarkan dalam kesendirian dan kesunyian. Tak ada yang mendekat dan memberikan kata-kata penguatan maupun penghiburan.
Kegelapan benar-benar menguasai jagat raya, bukan hanya kegelapan secara kasat mata, melainkan kegelapan yang telah menguasai hati manusia. Gelapnya hati memadamkan watak welas asih dalam kehidupan dan menandai betapa berkuasanya kematian.
Di tengah situasi demikian, di manakah kuasa Sang Sumber Kehidupan? Mengapa Sang Putra dibiarkan dalam ketidakberdayaan? Semua penghinaan dengan rela ditanggung oleh-Nya karena begitu besarnya kasih Allah bagi manusia berdosa. Di tengah matinya simpati dan empati manusia, justru simpati dan empati Sang Juru Selamat inilah yang memampukan kita untuk kembali bersimpati dan berempati kepada sesama.
Share:

Kristus Yang Penuh Belas Kasihan

Markus 8:1-10

Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak ini. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Dan jika mereka Kusuruh pulang ke rumahnya dengan lapar, mereka akan rebah di jalan, sebab ada yang datang dari jauh.

- Markus 8:2-3

Kita yang aktif berjemaat di gereja pasti mengenal atau minimal pernah mendengar tentang pelayanan diakonia. Pelayanan diakonia adalah tugas panggilan gereja untuk memperhatikan orang-orang yang berkekurangan secara materi berdasarkan rasa belas kasihan. Mengapa gereja perlu melakukan pelayanan diakonia? Karena Tuhan Yesus mengajarkan kita untuk melakukannya. Karena itu, gereja mula-mula mengikuti teladan Kristus memulai pelayanan diakonia (lih. Kis. 6:1-7). Perikop bacaan hari ini mencontohkan bagaimana Kristus yang penuh belas kasihan memperhatikan apa yang dibutuhkan oleh orang banyak.

Yesus masih berada di daerah Dekapolis dan mengajar sejumlah besar orang banyak (ay. 1). Mereka telah mengikuti Yesus selama tiga hari dan saat itu sudah tidak mempunyai makanan. Yesus tergerak melihat kondisi lapar orang banyak tersebut dan jika disuruh pulang dengan perut kosong mereka akan rebah (pingsan di terjemahan Alkitab lain) di jalan (ay. 2-3). Seperti kejadian sebelumnya, murid-murid meresponi keprihatinan Yesus dengan ketidakberdayaan. Namun, Yesus mengetahui apa yang harus dilakukan-Nya. Dia akan berbuat mukjizat dengan tujuh roti yang tersisa (ay. 5). Setelah menyuruh orang banyak duduk, Dia mengambil tujuh roti tersebut, mengucap syukur, memecah-mecahkan, dan memberikannya kepada murid-murid-Nya untuk dibagi-bagikan (ay. 6). Demikian juga diperbuat-Nya dengan beberapa ikan yang mereka punyai (ay. 7). Pada hari itu, ada kira-kira empat ribu orang makan dengan kenyang dan bahkan masih tersisa tujuh bakul! (ay. 8). Setelah orang banyak itu kenyang, baru Yesus menyuruh mereka pulang (ay. 9).

Jika memperhatikan sekeliling kita, ada banyak orang yang memerlukan bantuan, entah pangan, pakaian maupun papan. Sebagai orang-orang beriman, kita perlu meneladani Kristus Yesus dengan membuka mata dan hati yang penuh belas kasihan saat melihat kondisi mereka. Mari bergerak melakukan tindakan nyata untuk menolong mereka. Rasul Yakobus mengingatkan kita bahwa iman tanpa perbuatan yang nyata, pada dasarnya mati (Yak. 2:17). Bantuan kita akan meringankan beban mereka. Kita bisa melakukannya secara pribadi ataupun berkelompok melalui pelayanan diakonia gereja.


Refleksi Diri:

Bagaimana Anda bisa terlibat dalam pelayanan menolong mereka yang membutuhkan, baik secara pribadi ataupun melalui pelayanan diakonia gereja?

Apakah Anda sudah membuka mata dan memberikan hati yang berbelas kasihan kepada mereka yang membutuhkan bantuan Anda?"

Share:

Diamnya Sang Pembebas

Markus 15:1-15 

Memasuki Minggu Palma, umat Tuhan secara khusus menghayati perjalanan Yesus sebagai Sang Pembebas dari Betania ke Yerusalem. Kisah ini diawali dengan gelora antusiasme komunal atas datangnya Sang Mesias. Tidak heran bila pekik "Hosana!" pun membahana. Orang-orang saat itu rela menghamparkan pakaiannya untuk memberikan alas bagi jalan Sang Pembebas (lih. Mrk 11:8-10).

Kisah-Nya dilanjutkan hari ini. Dia yang dielu-elukan sebagai Mesias ternyata memilih berdiam saat banyak tuduhan dialamatkan kepada-Nya. Hal ini membuat Pilatus heran (4-5).

Bukankah ketika banyak tuduhan muncul, itu adalah kesempatan untuk unjuk kehebatan sebagai Mesias? Bukannya unjuk argumentasi dan bukti, Yesus justru memilih untuk bungkam saja. Mengapa?

Berdiam dalam hening adalah momen sakral bagi diwujudkannya iman. Itulah kekuatan dalam wujud iman yang fokus karena tidak dikuasai aneka gerak. Dalam diam, Yesus dapat mengendalikan emosinya. Sikap yang melukiskan bagaimana iman bekerja. Ini bisa dirasakan ketika orang mampu berdiam tanpa tergoda gerak energi dalam wujud emosi. Sikap tenang Yesus melukiskan kontras tajam dengan teriakan tak terkendali dari imam-imam kepala yang dengki dan orang banyak yang telah dihasut (3, 10-11, 13-14).

Pada setiap Hari Raya Paskah ada tradisi untuk Pilatus membebaskan satu orang tahanan atas permintaan orang banyak. Inilah yang hendak dipakai Pilatus untuk melepaskan Yesus, tetapi yang malah dimanfaatkan orang banyak untuk meneriakkan penyaliban-Nya. Inilah pula yang membukakan jalan pembebasan bagi Barabas, si pemberontak dan pembunuh. Kebebasan didapatkannya berkat diamnya Sang Pembebas, yakni Yesus.

Bukan pahlawan yang berperang dengan teriakan yang menyelamatkan kita, melainkan Pembebas yang diam di tengah tuduhan palsu. Dan bukan terdakwa yang kelu lidah yang menjadi Juru Selamat kita, melainkan Raja yang penuh kuasa dan kasih karunia. Tidak melulu iman dibuktikan dengan keributan, tetapi juga dengan ketenangan dan diam. [SET]

Share:

Cari Aman

Markus 14:66-72 

Istilah cari aman ditujukan kepada orang-orang yang tidak berani mengambil risiko dengan sesuatu yang dirasa nantinya akan membahayakan atau merugikan dirinya. Tindakan cari aman sebenarnya bisa dikatakan sebagai naluri alamiah manusia. Jika ada bahaya, orang tentu akan mengamankan diri.

Demikianlah Petrus tiga kali menyangkali bahwa dia bersama-sama dengan Yesus, yang saat itu sedang dihadapkan kepada imam besar (68, 70-71), di hadapan seorang hamba perempuan imam besar satu kali, dan di hadapan banyak orang dua kali.

Secara manusiawi, yang dilakukan Petrus adalah sesuatu yang wajar. Tidak ada seorang pun yang mau turut terlibat dalam masalah orang lain, apalagi kalau masalah itu melibatkan nyawa. Lebih baik berpura-pura tidak tahu daripada ikut celaka. Kalau Petrus mengakui dirinya sebagai murid Yesus, bukan tidak mungkin orang banyak mencemooh dia dan membuatnya turut menanggung penganiayaan.

Namun, yang membuat Petrus sangat kecewa tentu bukan sekadar penyangkalan yang dia lakukan, melainkan fakta bahwa hanya beberapa jam sebelumnya dia baru saja sesumbar kepada Yesus bahwa dia tidak akan pernah menyangkal Yesus, bahkan siap mati untuk-Nya (Mrk 14:29, 31). Kenyataannya, dia ketakutan untuk mengakui keterkaitan dirinya dengan Yesus.

Kiranya kita bijak dalam bertindak dan mengambil keputusan. Dengan demikian, kita bisa memilih dengan tepat, kapan cari aman dan kapan harus mengambil risiko. Ada hal-hal yang memang perlu dibiarkan terjadi tanpa kita turut campur atau terlibat. Namun, ada hal-hal yang mengharuskan kita untuk melibatkan diri dan mengambil risiko.

Kita perlu memilah dan memilih supaya tidak keliru bertindak. Kita perlu cermat dalam mengamati dan menganalisis situasi. Kita perlu mempertimbangkan akibat bagi diri sendiri dan orang lain di sekitar kita. Jangan sampai kita menyesal dengan keputusan kita. Sebab, jika sudah terjadi, kita harus menanggung konsekuensi apa pun yang timbul dan bertanggung jawab dengan pilihan kita. [KRS]

Share:

Berlakulah Adil!

Markus 14:53-65 

Lirik salah satu lagu almarhum penyanyi Gombloh menyebut: "Kalau cinta sudah melekat, tahi kucing rasa coklat". Ungkapan ini menunjukkan bahwa cinta bisa menutupi pandangan kita terhadap orang yang kita cintai, sehingga yang terlihat hanya kebaikannya. Sebaliknya, ketika kita sudah benci kepada seseorang, yang terlihat hanya keburukannya. Kebaikan sekecil apa pun dari orang itu, tetap saja dia dianggap buruk.

Tampaknya itulah isi hati imam kepala, tua-tua, dan ahli Taurat saat itu terhadap Yesus. Setelah Yesus ditangkap dan dihadapkan kepada imam besar, mereka mendatangkan saksi-saksi dusta untuk menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus (53, 55). Kesaksian orang-orang itu tidak saling bersesuaian, tetapi mereka tidak berhenti memberi kesaksian palsu (56-59). Saksi-saksi terus didatangkan sampai akhirnya mereka menanyai Yesus secara langsung dan mendapat alasan untuk menjatuhi-Nya hukuman mati (60-64).

Memang, kalau sudah benci, ada saja yang dilakukan untuk menyudutkan atau bahkan mencelakai orang yang dibenci.

Mari kita menjaga hati kita. Setiap perasaan yang ada, kita barengi dengan logika. Ketika kita mencintai seseorang, kita tetap harus memandangnya secara sadar dan bijak. Dengan demikian, kita bisa melihat kelemahan, kesalahan, dan keburukan orang itu, bukan untuk menjelekkannya, tetapi memberi penilaian yang tepat.

Sebaliknya, ketika kita merasa tidak suka kepada seseorang, kita juga perlu bersikap objektif. Tak ada seorang pun yang seluruh diri atau hidupnya buruk. Tentu, orang itu pun memiliki kekuatan dan kebaikan. Jangan sampai kita menilai dan memperlakukan seseorang hanya berdasarkan rasa suka atau tidak suka kita kepadanya. Perlakuan yang demikian tidaklah adil.

Yesus diperlakukan secara tidak adil. Kita geram membaca pengalaman Yesus yang seperti itu. Maka, kita perlu menjaga diri supaya kita tidak melakukan hal yang sama. Pandanglah orang secara jujur dan objektif. Berlakulah adil kepadanya; tiap orang punya kebaikan maupun keburukan yang patut diakui. [KRS]

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.