Arti Puasa
Imamat 23:23-36
Puasa merupakan praktik keagamaan yang umum dilakukan oleh berbagai umat beragama, termasuk bangsa Israel. Namun, bagaimana cara mereka menjalankan puasa, dan apa maknanya bagi mereka? Mari kita pelajari arti puasa berdasarkan Imamat 23:23-36.
Salah satu momen penting dalam kalender ibadah Israel adalah Hari Pendamaian, yang jatuh pada tanggal sepuluh bulan ketujuh. Pada hari itu, umat diperintahkan untuk mengadakan pertemuan kudus dan merendahkan diri dengan berpuasa (27). Mereka juga dilarang melakukan pekerjaan apa pun, karena hari itu adalah saat pendamaian antara mereka dan Tuhan (28). Bahkan, siapa pun yang tidak merendahkan diri dengan berpuasa akan dilenyapkan dari bangsa Israel (29).
Menariknya, dalam Alkitab bahasa Ibrani, frasa "merendahkan diri dengan berpuasa" berasal dari kata anah, yang dalam berbagai terjemahan Alkitab berbahasa Inggris memiliki makna yang luas, seperti "menyangkal diri" (deny yourselves - NIV), "merendahkan diri" (humble yourselves - NASB), dan "membuat diri menderita" (afflict yourselves - ESV). Bahkan, beberapa versi tidak secara langsung menerjemahkannya sebagai "berpuasa". Ini menunjukkan bahwa makna puasa dalam konteks Hari Pendamaian lebih dari sekadar menahan lapar dan haus, tetapi juga melibatkan sikap hati yang rendah, kesadaran akan dosa, dan penyesalan yang mendalam di hadapan Tuhan.
Jadi, puasa bukan sekadar tidak makan atau minum. Tujuan utama berpuasa adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan hati yang merendah dan berserah. Ketika kita berpuasa untuk mencari tuntunan dan pertolongan-Nya, kita tidak boleh datang dengan sikap memaksa atau menuntut, tetapi dengan hati yang bersyukur dan siap menerima apa pun jawaban Tuhan dalam hidup kita.
Merayakan Kelimpahan dari Allah
Imamat 23:15-22
Allah bukan hanya menebus dan menyelamatkan umat-Nya, tetapi juga senantiasa memelihara mereka. Ketika umat Allah mengadakan perayaan, hal itu bukan sekadar pesta pora, melainkan sebuah cara untuk mengenang serta merayakan karya penyelamatan dan pemeliharaan-Nya dalam hidup mereka.
Salah satu perayaan yang disebut dalam nas ini adalah Perayaan Tujuh Minggu, yang juga dikenal sebagai Pentakosta (15-16; bdk. Ul. 16:10). Dalam perayaan ini, umat membawa kurban sajian berupa dua roti unjukan yang dibuat dari tepung terbaik dan dicampur dengan ragi sebagai buah sulung bagi Tuhan (17). Selain itu, mereka juga mempersembahkan tujuh ekor domba, seekor lembu jantan, dan dua ekor domba jantan sebagai kurban bakaran (18). Sebagai bentuk pertobatan dan persekutuan dengan Allah, mereka mempersembahkan seekor kambing jantan sebagai kurban penghapus dosa dan dua ekor domba sebagai kurban keselamatan (19).
Perayaan ini dihitung tujuh minggu setelah Sabat (15), dimulai dari hari ketika imam menunjukkan berkas hasil tuaian pertama (9-10). Dengan demikian, Pentakosta merupakan perayaan syukur atas hasil tuaian yang telah Allah berikan, yang menegaskan bahwa segala kelimpahan berasal dari-Nya.
Selain membawa persembahan, umat juga diajak untuk datang dengan hati yang benar di hadapan Allah. Kurban bakaran, kurban penghapus dosa, dan kurban keselamatan mengajarkan bahwa ucapan syukur harus disertai dengan kerendahan hati dan kesadaran akan anugerah-Nya.
Di Perjanjian Baru, makna Pentakosta semakin diperdalam dengan pencurahan Roh Kudus atas para murid. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak hanya memberi berkat jasmani, tetapi juga berkat rohani yang berlimpah dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, kita diajak untuk selalu bersyukur, bukan hanya atas keselamatan, tetapi juga atas pemeliharaan-Nya yang tak berkesudahan. Bahkan dalam kesulitan, kita tetap dapat melihat kebaikan dan kelimpahan kasih-Nya.
Firman Tuhan : " Amati Karya-Nya "
Dari tujuh hari dalam seminggu, satu hari harus dikhususkan sebagai Sabat, yaitu hari perhentian penuh dan hari pertemuan kudus (3). Mengapa hari itu disebut kudus? Karena pada hari itulah manusia diberikan kesempatan untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan dan mengamati karya-Nya yang ajaib.
Melalui hari raya, umat diajak untuk memahami makna Paskah (5-6). Saat mereka memakan roti tidak beragi, mereka mengenang bagaimana Tuhan membebaskan leluhur mereka dari perbudakan menuju tanah perjanjian. Kesadaran ini hanya mungkin didapat ketika mereka benar-benar meluangkan waktu untuk berhenti dan merenung. Inilah alasan mengapa penting untuk mengambil waktu jeda dari rutinitas sehari-hari.
Semua ini bukan sekadar ritual tanpa makna. Ketika umat mulai menikmati berkat Tuhan di tanah perjanjian, mereka juga dipanggil untuk mempersembahkan seberkas hasil pertama tuaian, seekor domba yang tak bercela, tepung terbaik yang dicampur dengan minyak, serta anggur (10-13). Dengan demikian, Sabat bukan hanya tentang berhenti bekerja, tetapi juga tentang mengingat dan merayakan kebaikan Tuhan hingga turun-temurun (14).
Di balik ketetapan tentang hari Sabat, tersimpan makna yang dalam. Mengingat karya Tuhan bukan hanya sekadar mengenang peristiwa masa lalu, tetapi juga menyadari bahwa karya-Nya tetap berlangsung dan selalu relevan dalam kehidupan kita. Ia telah membawa kita dari maut menuju hidup kekal, sehingga kini kita dapat menikmati berkat-Nya yang melimpah, termasuk kedamaian dan sukacita. Oleh karena itu, perenungan akan karya-Nya selalu mendatangkan ketenangan, bahkan di tengah dunia yang penuh hiruk pikuk.
Firman Tuhan : " Pilar Kepercayaan "
Tuhan menyampaikan firman kepada Musa untuk diteruskan kepada Harun dan anak-anaknya agar mereka menjaga persembahan kudus dengan sungguh-sungguh (2). Tidak sembarang orang boleh mempersembahkan atau memakan kurban, sehingga para imam memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga persembahan dari segala bentuk kenajisan dan kecemaran (3-16).
Di sisi lain, umat yang memberi persembahan juga memiliki tanggung jawab yang tidak bisa diabaikan. Hewan yang dipersembahkan—baik lembu jantan, domba, maupun kambing—haruslah tak bercela (18-21). Hewan yang cacat tidak boleh dipersembahkan kepada Tuhan (22-25). Umat yang hendak memberikan kurban harus melakukannya dengan penuh kesungguhan, pada waktu yang tepat, dan dengan cara yang benar (26-29). Persembahan bukan sekadar tradisi, tetapi merupakan bentuk ketaatan mereka kepada Allah (30). Dari sinilah kepercayaan umat kepada Tuhan, Sang Penebus, menjadi nyata.
Sayangnya, dalam dunia yang semakin dikendalikan oleh sistem kapitalisme, prinsip persembahan kudus sering kali diabaikan. Apa yang dahulu dipersembahkan dengan penuh penghormatan kini lebih banyak dikonversi menjadi uang; pemberian yang seharusnya dikuduskan justru dipertahankan untuk kepentingan pribadi, dan yang diberikan hanyalah sisa yang tidak bernilai. Ini menunjukkan bahwa fokus utama bukan lagi kepada Allah, melainkan kepada materi.
Namun, sebagai umat yang setia, biarlah ketulusan kita dalam memberi tidak pudar. Memberikan persembahan yang terbaik mungkin tampak tidak menguntungkan secara duniawi, tetapi dari situlah kita menjaga pilar kepercayaan kita kepada Allah. Sebagaimana kita dipanggil untuk hidup dalam kekudusan, demikian pula hendaknya setiap persembahan kita mencerminkan kekudusan Allah yang kita sembah.













