🔥 Firman Tuhan : Iman terhadap Kebangkitan
Kita sering membayangkan kebangkitan seperti film aksi: tubuh keluar dari kubur, cahaya menyala. Tapi Firman Tuhan menawarkan gambaran yang lebih dalam: kehidupan setelah kematian bukan kelanjutan dunia ini. Tidak ada kawin, tidak ada kematian, tidak ada rasa lelah. Hidup dalam keabadian, seperti malaikat, di hadirat Allah (Lukas 20:35–36).
Kaum Saduki mencoba menghancurkan iman dengan logika. Tapi Yesus menjawab: “Dalam kebangkitan, orang tidak menikah…” — karena kehidupan yang sungguh-sungguh dimulai setelah kematian.
💬 "Jika Kristus tidak dibangkitkan, sia-sialah iman kita." — 1 Korintus 15:14
Di tengah ketidakpastian masa kini — krisis, kematian, rasa kehilangan — Yesus adalah jaminan hidup abadi. Ia bukan hanya berbicara tentang kebangkitan. Ia adalah kebangkitan itu sendiri.
✨ Bukan lagi soal percaya secara logis. Tapi soal beriman secara utuh.
Ia yang mati di kayu salib, kini hidup di surga. Ia yang dikubur, kini menang atas maut. Dan satu hari nanti: kita juga akan bangkit bersama Dia.
“Aku adalah kebangkitan dan hidup.” — Yohanes 11:25
🖼️ Ilustrasi modern: Seorang pria muda duduk di bawah pohon yang menyerupai kabel fiber optik, menatap layar ponsel yang redup. Di kejauhan, cahaya dari surga menyala seperti koneksi internet yang tak terputus. Kebangkitan bukan sekadar peristiwa di masa lalu — tapi jaringan kehidupan abadi yang terhubung kini, dan tetap hidup selamanya.
📌 Renungan untuk hari ini: Jika iman kita hanya mengandalkan logika, kita akan seperti kaum Saduki. Tapi jika kita beriman kepada Yesus — yang telah bangkit — maka kita hidup dalam harapan yang tak bisa mati.
Kebangkitan bukan soal masa lalu. Ia adalah janji untuk masa depan kita — dan kini, kau sedang berada di dalamnya. 💫
Firman Tuhan : Cerdaslah (Hikmat)
Pada masa itu, pajak kepada Kaisar Roma adalah simbol penjajahan. Uang pajak dipakai untuk membiayai tentara yang menindas bangsa Israel. Jadi, membayar pajak berarti mendukung penindasan, tetapi menolak berarti memberontak kepada kekaisaran. Inilah dilema besar rakyat Yahudi — dan inilah yang dipakai para tokoh agama untuk menjebak Yesus.
Jika Yesus berkata “bayarlah pajak kepada Kaisar”, rakyat akan membenci-Nya.
Jika Yesus berkata “jangan bayar pajak”, mereka akan menuduh-Nya memberontak melawan Roma.
Apa pun jawabannya, Yesus akan jatuh.
Namun, Yesus tidak terjebak. Dengan penuh hikmat, Ia meminta mereka menunjukkan mata uang pajak — denarius — dan bertanya: “Gambar dan tulisan siapa di sini?” Mereka menjawab: “Kaisar.” Maka Yesus berkata:
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan kepada Allah apa yang menjadi milik Allah.” (ayat 25)
Sebuah jawaban yang begitu sederhana, tetapi sangat dalam.
Yesus tidak sedang bicara soal kewajiban pajak semata. Ia sedang menyingkapkan kepalsuan dan kelicikan hati manusia yang ingin menjerat-Nya. Ia menegaskan bahwa manusia tidak boleh mencampuradukkan apa yang menjadi milik dunia dengan apa yang menjadi milik Allah.
💡 Ilustrasi :
Bayangkan seseorang yang berdebat di media sosial tentang pajak, politik, atau keadilan. Banyak orang sibuk membuktikan siapa yang benar, siapa yang salah — tetapi sedikit yang benar-benar berani hidup jujur, adil, dan penuh kasih.
Yesus tidak mau terseret dalam permainan debat semu. Ia menunjukkan hikmat surgawi — bukan sekadar pintar berbicara, melainkan bijak dalam membaca hati manusia dan menolak manipulasi.
Yesus ingin pengikut-Nya memiliki hikmat yang lahir dari kebenaran dan kasih. Hikmat yang tidak membalas kelicikan dengan kelicikan, tetapi dengan kecerdasan yang penuh kasih.
Hikmat yang tahu kapan harus berbicara, kapan harus diam.
Hikmat yang berani menghadapi kejahatan, tetapi tetap berakar pada kebaikan.
Apakah kita menggunakan kecerdasan untuk menipu atau untuk melayani Tuhan?
-
Apakah kita bijak dalam menyikapi persoalan dunia, atau mudah terseret dalam permainan orang yang ingin menjatuhkan kita?
Mari kita belajar dari Yesus yang tidak membalas kejahatan dengan kelicikan, tetapi dengan hikmat yang kudus.
Cerdaslah, bukan hanya agar kita selamat dari jebakan manusia, tetapi supaya hidup kita memuliakan Tuhan.
Doa
Tuhan, berilah kami hikmat surgawi seperti yang Engkau miliki.
Ajarlah kami berpikir jernih, berbicara dengan kasih, dan bertindak dengan benar.
Jauhkan kami dari kelicikan dan tipu daya dunia ini.
Biarlah kecerdasan kami menjadi alat untuk menyatakan kebenaran dan kasih-Mu.
Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa.
Amin.
"Firman Tuhan" : Manusia Bukanlah Benda
Inilah realitas yang juga diungkap Yesus dalam perumpamaan tentang para penggarap kebun anggur. Para ahli Taurat dan imam kepala digambarkan seperti pekerja yang tidak tahu berterima kasih. Mereka menikmati hasil kebun, tetapi menolak memberi bagian kepada pemilik yang sah (ayat 10).
Sang tuan bersabar luar biasa — ia mengutus hambanya tiga kali untuk menagih haknya. Tetapi, para penggarap malah menganiaya dan membunuh mereka (ayat 12). Bahkan ketika anak sang tuan sendiri diutus, mereka tetap tega membunuhnya demi menguasai kebun itu (ayat 15).
Yesus menyampaikan kisah ini sebagai peringatan keras bagi para pemimpin agama yang telah kehilangan kasih dan nurani. Mereka sibuk mempertahankan posisi dan pengaruh, sampai rela meniadakan kebenaran dan mengorbankan orang lain.
Pesan Yesus tetap relevan hingga kini. Dunia modern memuja efisiensi dan hasil — tetapi Tuhan mengingatkan kita: manusia bukanlah mesin, melainkan makhluk yang memiliki martabat dan kasih.
💡 Ilustrasi Modern:
Bayangkan seorang pegawai yang bekerja keras, memberi yang terbaik, tetapi begitu usianya menua, ia “dipensiunkan” tanpa penghargaan. Atau seorang teman yang hanya dicari saat butuh bantuan, lalu dilupakan setelahnya.
Budaya seperti ini membuat manusia hanya dihargai karena fungsinya, bukan karena keberadaannya. Padahal, Allah tidak memandang manusia dari seberapa bergunanya dia, melainkan karena setiap manusia adalah ciptaan-Nya yang berharga.
Renungan ini mengajak kita bertanya dengan jujur:
-
Apakah saya menghargai orang lain karena mereka berharga di mata Tuhan, atau karena mereka berguna bagi saya?
-
Apakah saya memandang sesama dengan kasih, atau dengan kacamata kepentingan pribadi?
Mari kita belajar dari Yesus yang tidak memperlakukan siapa pun sebagai alat, melainkan sebagai pribadi yang dikasihi.
Manusia bukanlah benda, bukan sumber daya, bukan objek.
Manusia adalah ciptaan Allah — yang pantas dikasihi, dihormati, dan dijaga martabatnya.
Doa
Tuhan yang penuh kasih, ampunilah kami jika kami pernah memperlakukan sesama sebagai alat untuk kepentingan kami sendiri.
Ajarlah kami melihat setiap orang sebagai pribadi yang Engkau ciptakan dengan kasih dan tujuan ilahi.
Bentuklah hati kami agar selalu menghargai, mengasihi, dan melayani sesama sebagaimana Engkau mengasihi kami.
Dalam nama Tuhan Yesus kami berdoa.
Amin.
Firman Tuhan : Punya “Orang Kuat”
![]() |
Punya relasi dengan “orang kuat” sering dianggap sebuah kebanggaan. Banyak orang merasa lebih tenang bila di belakangnya ada sosok berkuasa — entah karena jabatan, uang, atau pengaruh. Kalau ada masalah, orang kuat itu bisa diandalkan. Orang lain pun akan berpikir dua kali untuk berurusan dengan dirinya.
Mungkin hal inilah yang ada di benak para imam kepala, ahli Taurat, dan tua-tua di Bait Allah. Mereka melihat Yesus berani mengajar dan bertindak dengan otoritas besar. Maka mereka bertanya-tanya, “Siapa orang kuat di balik Yesus?” Jika Yesus hanya seorang biasa, dari mana datangnya kuasa sebesar itu?
Pertanyaan mereka tampak sopan, tetapi sebenarnya penuh jebakan. Mereka bukan sungguh ingin tahu, melainkan ingin mencari celah untuk menjatuhkan-Nya. Namun Yesus tahu isi hati mereka. Ia tidak terpancing menjawab, melainkan justru mengembalikan pertanyaan itu agar mereka merenung sendiri.
Dengan hikmat, Yesus membalikkan keadaan. Ia ingin menyadarkan mereka bahwa hidup dengan tipu muslihat hanya akan membuat hati gelisah dan takut. Orang yang selalu ingin menjatuhkan orang lain sesungguhnya sedang menggali lubang untuk dirinya sendiri.
Yesus menunjukkan bahwa otoritas sejati tidak berasal dari manusia, tetapi dari Allah. Ia tidak membutuhkan “orang kuat” untuk menopang-Nya, karena Ia sendiri bersandar sepenuhnya kepada Bapa.
Renungan ini mengingatkan kita:
-
Jangan menilai seseorang dari siapa “orang kuat” di belakangnya, tetapi dari integritas dan kebenaran hidupnya.
-
Jangan menggunakan kecerdikan untuk menjatuhkan orang lain, tetapi untuk membangun dan menyatakan kasih Allah.
-
Percayalah, orang yang berpihak pada kebenaran selalu berada di sisi Allah — dan Dialah satu-satunya “Orang Kuat” sejati dalam hidup kita.
Ketika kita berjalan bersama Tuhan, kita tak perlu mencari perlindungan manusia. Ia yang Mahakuasa adalah sandaran paling kokoh.
Doa
Tuhan, kami sering tergoda mencari perlindungan pada manusia yang berkuasa. Ampunilah kami bila lebih mengandalkan kekuatan dunia daripada kuasa-Mu. Ajarilah kami untuk hidup jujur, rendah hati, dan bersandar hanya pada-Mu. Jadikan kami pembawa kasih, bukan pembuat tipu daya. Engkaulah satu-satunya “Orang Kuat” kami — yang tak pernah gagal menolong dan melindungi. Dalam nama Yesus kami berdoa. Amin.















