Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Akhir yang Membahagiakan

Apa yang paling membahagiakan seseorang? Ada yang merasa bahagia tinggal bersama keluarga yang saling mengasihi dan setia, ada pula yang bahagia memiliki orang tua yang panjang umur dan dikaruniai banyak anak cucu. Kebahagiaan seperti ini lebih besar daripada kekayaan materi.

Yusuf mengalami hal serupa: ia tinggal di Mesir bersama keluarganya, mendapat kesempatan melihat keturunan Efraim sampai generasi ketiga, serta anak-anak Makhir, putra Manasye, dan diberkati dengan umur panjang (22-23). Namun, itu bukan kebahagiaannya utama karena ia tahu, kematiannya sudah dekat (24a).

Apa yang membuat Yusuf benar-benar bahagia pada akhir hidupnya? Meskipun ia hidup lama bersama keluarganya hingga melihat anak, cucu, dan cicitnya, semuanya akan berakhir dengan kematian. Namun, satu hal yang pasti dan tidak berubah meski ia mati adalah "Allah pasti akan memperhatikan kamu [saudara-saudaranya] dan membawa kamu keluar dari negeri ini [Mesir], ke negeri yang telah dijanjikan-Nya dengan sumpah kepada Abraham, Ishak, dan Yakub" (24b).

Oleh karena itu, Yusuf meminta saudara-saudaranya bersumpah bahwa mereka akan membawa tulang-belulangnya saat mereka keluar dari Mesir (25). Yusuf meninggal pada usia 110 tahun, mayatnya diberi rempah-rempah dan disimpan dalam peti mati di Mesir, tetapi tidak dikuburkan di sana sesuai sumpah mereka.

Ada pelajaran berharga dari kehidupan Yusuf yang bisa dijadikan teladan: akhir yang membahagiakan bukan terletak pada kekayaan atau umur panjang, melainkan pada penyertaan dan pemeliharaan Tuhan yang tidak akan berubah. Manusia pada akhirnya akan menghadapi kematian, tetapi janji Tuhan akan selalu abadi.

Apa yang membuat kita bahagia pada akhir hidup kita? Jika kebahagiaan kita masih terletak pada materi, diri sendiri, atau keluarga, maka saat ini kita diingatkan untuk menghidupkan dalam diri kita dan keluarga kita, terutama anak-anak kita, pelajaran tentang janji Tuhan yang tidak akan pernah berubah, dahulu, kini, dan selamanya.

Share:

Kasih yang Tulus

Sering kali kita mendengar: "lain di mulut, lain di hati." Di luar seseorang tampak ramah, sementara di dalam hatinya tersimpan kekesalan. Ibarat orang bertopeng, orang itu tidak sungguh-sungguh mengasihi. Kasih diberikan kepada orang tertentu saja, sementara kebohongan dan kemunafikan ditumpahkan kepada yang lain.

Saudara-saudara Yusuf berpikir kalau-kalau kasih Yusuf tidak tulus. Pikiran ini muncul setelah kematian Yakub (15). Kecurigaan, ketakutan, dan bahkan kesediaan untuk menjadi budak saudara sendiri menghantui mereka akibat kejahatan masa silam. Ada kesan seolah-olah kasih dapat berubah dalam sekejap akibat kejahatan, seolah-olah pemberian sebelumnya hanya sebuah topeng kebaikan karena sang ayah masih hidup. Akibatnya, kasih dicurigai, ditakuti, dan dihindari (16-18).

Ini juga dirasakan oleh seorang sipir penjara yang menjaga Nelson Mandela, yang dipenjara oleh lawan politiknya. Selama 27 tahun di penjara, ia sering menyiksa Mandela. Situasi berbalik ketika Mandela menjadi presiden Afrika Selatan dan ia dipanggil ke hadapan Mandela. Sipir itu sangat ketakutan, mengira bahwa Mandela akan membalas, menyiksa, dan memenjarakannya. Namun, Mandela malah merangkulnya dan berkata: "Hal pertama yang kulakukan ketika menjadi presiden adalah memaafkanmu."

Kasih tulus Yusuf tidak berubah. Ia bahkan menyatakan bahwa dirinya bukan pengganti Allah (19). Ia mengakui kejahatan saudara-saudaranya besar, tetapi ia juga mengakui bahwa semua yang terjadi pada masa lalu dirancang Allah untuk mendatangkan kebaikan pada masa kini, yaitu untuk memelihara hidup bangsa yang besar. Ia bahkan menjamin keberlangsungan hidup keluarga mereka (20-21).

Kasih yang tulus tidak mudah dipengaruhi atau dihilangkan oleh kondisi dan situasi apa pun. Allah adalah kasih, dan kasihlah yang diperintahkan untuk selalu ada dalam hidup orang-orang milik-Nya. Seperti Yusuf, semoga kasih kita tetap ada di dalam mulut maupun hati, pada masa lalu dan masa kini.

Share:

Kasih kepada Orang Tua

Orang tua adalah sosok penting bagi anak-anaknya. Mereka merawat, menjaga, mendidik, dan memenuhi segala kebutuhan anak dengan yang terbaik. Namun, mereka akan menua dan suatu hari nanti akan kembali kepada Sang Pencipta. Oleh karena itu, kewajiban anak-anak bukan hanya membahagiakan orang tua saat mereka hidup, tetapi juga mengurus kematian mereka dengan sepatutnya.

Kita melihat bagaimana Yusuf menyatakan kasih kepada orang tuanya. Pertama, ia menunjukkan kasih sayang dengan merebahkan dirinya, menangisi, dan mencium ayahnya (50:1).

Kemudian, ia menjalankan proses pengawetan jenazah ayahnya selama 40 hari dan berkabung selama 70 hari (50:2-3). Ia juga meminta dan mendapatkan izin dari raja untuk menguburkan jenazah ayahnya sesuai pesan terakhirnya (49:29-32, 50:4-6).

Terakhir, ia membawa jenazah ayahnya untuk dimakamkan di tanah Kanaan, di dalam gua di ladang Makhpela, meskipun lokasinya jauh (50:7-10, 12-13). Ia melakukannya bersama saudara-saudaranya dan seisi rumah ayahnya.

Apakah kita masih melihat kasih kepada orang tua dalam diri anak-anak zaman sekarang? Bagaimana dengan berita tentang anak-anak yang menelantarkan, bahkan melukai dan membunuh orang tua mereka? Masih adakah kasih kita kepada orang tua? Atau, apakah kasih kita penuh dengan kepura-puraan?

Kita dapat mengikuti teladan Yusuf yang mengasihi ayahnya dengan tulus. Sikapnya bukan sekadar luapan emosi atau kepura-puraan untuk mendapatkan simpati dan empati dari keluarga, pejabat istana, dan raja. Ia rela berkorban untuk mewujudkan kasih kepada ayahnya. Akibatnya, ia pun mendapat kasih dari banyak orang.

Kita harus mewujudkan kasih kepada orang tua kita dengan tulus, bukan sekadar kewajiban atau untuk mendapatkan simpati. Kasih kepada orang tua adalah hukum Allah yang kelima, dengan janji kehidupan yang panjang di tanah yang Tuhan berikan (Kel. 20:12). Kasih inilah yang seharusnya mengisi hidup kita dan membahagiakan orang tua kita.

Share:

Berkat, Teguran, dan Kutukan Masa Depan

Menjelang akhir hidupnya, Yakub memberikan berkat kepada setiap anaknya.

Sebagai seorang ayah yang bijaksana, Yakub memberkati anak-anaknya berdasarkan karakter dan perbuatan masing-masing, bukan berdasarkan kebencian, kemarahan, atau sikap pilih kasih. Dengan tulus, ia memanggil mereka, mengumpulkan mereka, dan menyampaikan proyeksi masa depan mereka satu per satu.

Pertama-tama, Ruben, Simeon, Lewi, dan Isakhar menerima teguran dan kutukan karena perilaku buruk mereka. Ruben kehilangan hak kesulungan (3-4), Simeon dan Lewi kehilangan tanah mereka (5-7). Isakhar diberkati sebagai pekerja keras, tetapi ia juga mendapatkan peringatan mengenai kemalasannya, yang akan mengakibatkan penderitaan karena perbudakan (14-15).

Kemudian, Yehuda, Zebulon, Dan, Gad, Asyer, Naftali, Yusuf, dan Benyamin menerima berkat karena karakter mereka yang baik. Yehuda akan dipuji, memperoleh kemenangan dan kedudukan, bahkan Mesias akan datang melalui keturunannya (8-12). Zebulon akan diberkati sebagai saudagar (13), Dan akan mengadili bangsa-bangsa (16-18), Gad akan berhasil mengatasi serangan dalam hidupnya (19), Asyer akan hidup dalam kenikmatan dengan makanan mewah (20), Naftali akan tinggal di tanah yang sangat produktif (21). Yusuf, yang mengalami banyak kesengsaraan namun tetap optimis karena Tuhan menyertainya, akan menjadi berkat bagi banyak orang (22-26). Terakhir, Benyamin akan memperoleh keuntungan (27).

Orang yang memiliki karakter buruk dan berbuat jahat akan menerima teguran dan kutukan untuk masa depannya. Sebaliknya, orang yang memiliki karakter baik akan dihormati, diberi kemenangan dan kedudukan, mampu mengatasi berbagai masalah, dan terpenuhi segala kebutuhannya. Dari hidupnya yang diberkati, ia akan menjadi berkat bagi orang lain.

Mari kita doakan setiap orang Kristen yang terkasih dalam Kristus, termasuk orang tua dan anak-anak kita, agar dengan karakter dan perbuatan yang sejalan dengan kehendak Allah, kita dapat memiliki masa depan yang penuh berkat.

Share:

Indahnya Kehidupan Orang Beriman

Allah yang setia pasti menunjukkan kesetiaan-Nya kepada orang yang takut akan Dia. Hal ini dapat kita lihat dalam pemeliharaan-Nya terhadap Yakub.

Yakub, yang telah pergi ke Mesir, hidup selama 17 tahun di tanah Gosyen hingga mencapai usia 147 tahun (27-28). Ketika ajalnya mendekat, Yakub meminta Yusuf untuk bersumpah bahwa ia akan dibawa keluar dari Mesir dan dikuburkan di kuburan nenek moyangnya (29-30). Yusuf pun menyanggupi dan bersumpah seperti yang diminta Yakub (30-31).

Ketika penulis menyebutkan detail yang tampaknya sepele, sebenarnya ada hal penting yang ingin ditekankan. Mengapa dikatakan bahwa Yakub hidup di Mesir selama 17 tahun? Angka ini mengingatkan kita akan usia Yusuf ketika ia dijual ke Mesir (lih. Kej. 37). Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa Yusuf hidup bersama Yakub selama 17 tahun, dan sekarang Yakub hidup bersama Yusuf selama 17 tahun.

Ini menunjukkan anugerah Allah yang luar biasa bagi Yakub, yang kebahagiaannya adalah hidup bersama anak yang paling dikasihinya.

Selanjutnya, kita melihat bahwa Yakub tetap sangat beriman sampai akhir hidupnya. Ia meminta Yusuf bersumpah untuk menguburkannya di tempat Abraham dan Ishak dikuburkan di Kanaan. Ini menunjukkan bahwa Yakub benar-benar percaya bahwa keturunannya nanti pasti akan tinggal di Kanaan seperti yang telah Allah janjikan.

Keindahan kehidupan kita sebagai orang beriman bukan dilihat dari harta atau pencapaian kita, tetapi yang terutama adalah pemeliharaan Allah dalam hidup kita. Kisah yang sangat indah di akhir hidup Yakub ini menekankan betapa indahnya kehidupan orang beriman ketika menjalani hidup dengan iman sampai akhir.

Semoga dengan berpegang pada janji Allah, kita pun semakin memahami dan merasakan kesetiaan Allah dalam hidup kita. Semoga kita juga tetap dan bahkan semakin beriman hingga akhir hidup kita sehingga kita bisa menjadi kesaksian akan pemeliharaan-Nya bagi semua orang di sekitar kita.

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.