Gereja Kristen Kalam Kudus Tepas Kesamben Blitar

Di Puncak maupun di Lembah

📖 Lukas 23:50–56

Yusuf dari Arimatea, seorang anggota Sanhedrin yang terhormat, telah lama menantikan hadirnya Kerajaan Allah. Ia mengharapkan Yesus sebagai Mesias, Raja keturunan Daud yang dijanjikan. Namun harapannya seolah runtuh ketika ia menyaksikan Yesus disalibkan dan mati.

Di tengah kekecewaan dan realitas yang tidak sesuai dengan ekspektasinya, Yusuf tidak membiarkan rasa kecewa menguasai hatinya. Ia justru mengambil langkah berani: ia menghormati Yesus dengan memberikan makam barunya untuk tempat peristirahatan terakhir Sang Raja Yahudi.

"Ia pergi menghadap Pilatus dan meminta mayat Yesus." (ay. 52)

📌 Menghormati Allah di Segala Keadaan

Dari Yusuf kita belajar: saat situasi tidak berjalan sesuai keinginan kita, tetaplah hormat kepada Tuhan. Rasa hormat tidak boleh bergantung pada suasana hati atau keadaan sekitar. Sama seperti perempuan yang meminyaki tubuh Yesus sebelum kematian-Nya (Mrk. 14:8; Mat. 26:12), kita dipanggil untuk menghormati Allah di setiap kesempatan, bahkan ketika keadaan tampak suram.

Perasaan familier kadang bisa mengikis rasa hormat. Karena itu, kita perlu menjaga hati agar tidak memperlakukan Allah dengan sikap biasa-biasa saja. Baik saat iman kita berada di puncak maupun di lembah kehidupan, Allah tetap layak dihormati dengan seluruh keberadaan kita.

📌 Setiap Kesempatan Adalah Waktu untuk Memuliakan Allah

Nasib manusia bisa berubah, suasana hati bisa naik-turun, namun kemuliaan Allah tetap kekal. Hari ini, tanyakan pada diri sendiri:
"Kebaikan apa yang dapat saya lakukan untuk memuliakan Yesus?"

Tidak perlu menunggu panggung atau sorotan. Kebajikan yang tersembunyi dilihat oleh Allah, dan Ia yang dalam kasih-Nya akan membalas setiap tindakan yang lahir dari hati yang menghormati Dia (bdk. Mat. 6:6, 18).

Share:

Kepasrahan Diri Merangsang Pengakuan

📖 Lukas 23:44–47

Saat kegelapan menyelimuti seluruh Yerusalem, Yesus, Anak Allah yang sulung, menyerahkan nyawa-Nya kepada Bapa di surga. Peristiwa ini mengingatkan kita pada tulah terakhir di Mesir ketika anak-anak sulung dibunuh dan negeri itu berada dalam kegelapan (bdk. Kel. 11–12). Kini, Sang Terang Dunia berserah dalam kepasrahan total untuk mengalahkan maut dan menebus manusia.

“Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (ay. 46)

Dalam kegelapan dunia dan keheningan surga, Yesus menunjukkan bahwa kepasrahan kepada Bapa adalah jalan menuju kemenangan. Demikian juga kita, saat menghadapi masa-masa kelam dalam hidup, dipanggil untuk belajar berserah. Ketika tanda-tanda pertolongan Allah belum tampak, dan suara-Nya terasa jauh, kita diajak untuk tetap memandang salib Kristus dan mempercayai rencana keselamatan-Nya.

📌 Kepasrahan yang Menggugah Orang Lain

Sikap berserah Yesus tidak hanya menunjukkan ketaatan-Nya, tetapi juga merangsang pengakuan iman dari orang lain. Kepala pasukan Romawi, yang menyaksikan peristiwa itu, akhirnya memuliakan Allah (ay. 47).

Demikian pula, dalam hidup kita, keteguhan iman di tengah penderitaan bisa menjadi kesaksian yang menggugah hati keluarga, sahabat, bahkan mereka yang belum mengenal Allah. Sikap pasrah yang penuh harap kepada Tuhan dapat menjadi alat bagi Allah untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Menghasilkan pertobatan memang adalah karya Roh Kudus. Namun, Allah berkenan memakai hidup kita sebagai instrumen untuk menyatakan kebenaran-Nya. Berserahlah! Sebab dalam kegelapan, terang Kristus bersinar paling terang.

Share:

Memberi yang Terbaik

Allah menetapkan bahwa tidak semua milik umat dapat digunakan sebagai nazar. Ada hal-hal yang secara khusus sudah menjadi milik-Nya dan tidak boleh ditawar-tawar lagi.

“Segala persembahan persepuluhan... adalah milik TUHAN, itu kudus bagi TUHAN.” (ay. 30, parafrase)

Anak sulung, baik dari manusia maupun hewan, sudah menjadi milik TUHAN sejak semula (ay. 26). Begitu juga dengan milik yang sudah dipersembahkan secara khusus untuk TUHAN tidak boleh ditebus atau dijual kembali (ay. 28). Termasuk persepuluhan dari hasil panen atau ternak, semuanya adalah milik-Nya.

📌 Prinsip Memberi yang Tuhan Ajarkan

  1. Tuhan Layak Menerima yang Terbaik
    Tidak ada ruang untuk mempersembahkan sesuatu dengan asal-asalan. Persembahan kepada TUHAN, termasuk persepuluhan, harus diberikan dengan sikap hati yang benar — dengan sukacita dan hormat.

  2. Kita Memberi dari Apa yang Sudah Tuhan Beri
    Semua yang kita miliki berasal dari Allah. Ketika kita memberi, sesungguhnya kita sedang mengembalikan sebagian dari apa yang telah Ia percayakan kepada kita.

  3. Bukan Hanya Harta, Tetapi Hidup Kita Juga
    Persembahan sejati bukan hanya berupa materi. Allah rindu agar kita juga mempersembahkan hidup kita — waktu, tenaga, talenta, bahkan impian kita — bagi kemuliaan-Nya.

Share:

Harta yang Dipersembahkan dengan Benar


Allah tidak hanya mengatur nazar terkait manusia dan hewan, tetapi juga perihal harta benda seperti rumah dan ladang. Dalam hukum nazar ini, kita melihat bahwa Allah memanggil umat-Nya untuk mempersembahkan dengan penuh pertimbangan dan sikap hormat.

“Apabila seseorang menguduskan rumahnya untuk TUHAN… imam harus menentukan nilainya.” (ay. 14, parafrase)

Rumah yang dinazarkan akan dinilai oleh imam. Begitu pula ladang yang dipersembahkan, nilainya dihitung berdasarkan jumlah benih jelai dan dikaitkan dengan waktu menuju tahun Yobel. Nilai dan aturan ini tidak sembarangan, melainkan ditetapkan secara adil dan sesuai ketentuan TUHAN.

📌 Pelajaran Penting dari Peraturan Nazar

  1. Tuhan adalah Pemilik Segala Sesuatu
    Rumah, ladang, dan seluruh harta benda milik umat adalah milik TUHAN. Umat hanyalah pengelola yang dititipi. Oleh karena itu, saat kita bernazar, kita tidak boleh mempersembahkan dengan sembarangan. Setiap janji harus disampaikan dengan penuh tanggung jawab dan ketulusan.

  2. Nazar Bukan Sekadar Ucapan
    TUHAN menilai kesungguhan hati kita dalam menepati janji. Membuat nazar bukanlah perkara ringan, karena mengandung konsekuensi jika diabaikan. Ia menuntut integritas dari umat-Nya.

  3. Memberi dengan Hati yang Tunduk dan Tulus
    Ketika kita memberikan sesuatu kepada TUHAN, entah berupa harta, waktu, atau hidup kita, lakukanlah dengan sikap hormat dan pengakuan bahwa semuanya berasal dari-Nya.

Share:

Janji yang Ditepati

Allah yang setia mengingatkan umat-Nya untuk tidak bermain-main dengan janji. Setiap nazar yang diucapkan di hadapan-Nya haruslah ditepati dengan sungguh-sungguh.

“Apabila seseorang mengucapkan suatu nazar yang menyangkut nilai manusia... maka haruslah engkau berpegang pada nilai yang telah ditetapkan TUHAN.”
(ay. 1–2, parafrase)

TUHAN mengatur secara rinci nilai persembahan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan kondisi ekonomi seseorang (1–8). Tidak ada yang dikecualikan—baik kaya maupun miskin dapat bernazar kepada TUHAN, dan semuanya dihargai oleh-Nya.

Menariknya, ketika sesuatu yang telah dinazarkan ingin ditebus kembali, maka harus dibayar lebih tinggi dari harga semula (13, 19). Ini menekankan bahwa nazar bukanlah perkara ringan. TUHAN menghargai setiap janji yang diucapkan umat-Nya.

🌿 Kesetiaan yang Sejati

Allah bukan hanya menuntut janji, tetapi Dia juga adalah Pribadi yang selalu menepati janji-Nya. Sebagai umat-Nya, kita dipanggil untuk hidup dalam kesetiaan yang sama.

Apakah kita pernah mengucapkan janji atau komitmen di hadapan TUHAN?
Apakah itu janji pelayanan, janji pertobatan, atau janji kesetiaan?

➡️ TUHAN tidak lupa. Ia menunggu kita untuk menepatinya.
Meski sulit, jangan menyerah. Karena Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya.

Share:

Categories

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.