Ada sebuah kisah modern yang menggambarkan hati manusia:
Seorang pelajar meretas sistem agen perjalanan hanya untuk mendapatkan tiket gratis. Ketika ditanya mengapa ia melakukannya, ia menjawab dengan jujur, “Karena saya mampu.”
Jawaban sederhana, tetapi mencerminkan kenyataan yang dalam — bahwa kuasa tanpa kendali akan menuntun pada kesalahan.
Perikop hari ini memperlihatkan dua hal menarik. Pertama, tentang bangsa-bangsa raksasa — Emim, Hori, Zamzumim, dan Awi — yang dulu mendiami tanah-tanah di sekitar jalur perjalanan Israel. Mereka adalah suku-suku kuat, namun semuanya telah dipunahkan oleh Tuhan. Kedua, meski Israel memiliki kekuatan besar dan janji kemenangan dari Tuhan, mereka dilarang merebut daerah-daerah tertentu. Tuhan telah menetapkan wilayah itu untuk bangsa lain.
“Jangan mengusik mereka, sebab Aku tidak akan memberikan kepadamu sedikit pun dari tanah mereka.” (Ulangan 2:5, 9, 19)
Perintah ini menunjukkan prinsip ilahi yang sangat dalam:
Tuhan adalah pemilik segala bangsa dan segala tanah di muka bumi. Ia menetapkan batas dan porsi bagi setiap orang sesuai dengan hikmat-Nya. Tugas kita bukanlah merampas yang bukan milik kita, melainkan mengelola dengan setia apa yang telah Ia percayakan.
Namun, di situlah ujian sesungguhnya muncul.
Mentaati “jangan mengambil” terasa mudah ketika kita tidak berdaya. Tapi ketika kita mampu — ketika peluang terbuka, ketika kuasa ada di tangan, ketika tidak ada yang bisa menegur — di sanalah ketaatan diuji.
Berapa kali kita tergoda menggunakan posisi, pengaruh, atau kecerdasan kita untuk mendapatkan sesuatu yang sebetulnya bukan milik kita?
Berapa kali kita membeli sesuatu hanya karena iri dengan apa yang dimiliki orang lain?
Bangsa Israel diajar untuk menahan diri, meski mereka mampu menaklukkan. Begitu pula kita — iman yang matang bukan diukur dari apa yang bisa kita lakukan, tetapi dari apa yang kita pilih untuk tidak lakukan demi taat pada Tuhan.
Mari kita belajar bersyukur untuk bagian yang telah Tuhan tetapkan bagi kita.
Mungkin kecil menurut ukuran dunia, tapi cukup dalam pandangan Allah.
Dan lebih dari itu — cukup untuk membentuk kita menjadi raksasa-raksasa iman, bukan raksasa keserakahan.
“Jangan mengingini rumah sesamamu...” (Keluaran 20:17)








Tidak ada komentar:
Posting Komentar