![]() |
Pernahkah kita mengasihi dengan “batas”?
Misalnya, kita hanya mau menolong kalau orang itu baik pada kita, atau kita berharap suatu hari dia akan membalasnya? Banyak orang memberi kasih dengan tujuan tertentu—supaya dipuji, dihormati, atau mendapatkan imbalan. Tetapi kasih yang Yesus ajarkan berbeda.
Ketika seorang ahli Taurat bertanya pada Yesus tentang bagaimana memperoleh hidup yang kekal, jawabannya terdengar sederhana: mengasihi Tuhan dan mengasihi sesama. Namun ahli Taurat itu ingin memperjelas—atau mungkin mencari celah—dengan bertanya, “Siapakah sesamaku manusia?”
Yesus menjawab dengan kisah yang kita kenal sebagai Perumpamaan Orang Samaria yang Murah Hati.
Seorang pria dirampok di jalan menuju Yerikho, dipukuli, lalu ditinggalkan nyaris mati. Seorang imam lewat, melihat, lalu menghindar. Seorang Lewi juga melihat, lalu berjalan terus. Namun seorang Samaria—yang pada zaman itu dianggap musuh oleh orang Yahudi—justru berhenti, menolong, merawat luka-lukanya, bahkan membawa dia ke penginapan dan membayar biaya perawatannya.
Yesus kemudian bertanya, “Siapa yang menjadi sesama manusia bagi orang yang dirampok itu?”
Ahli Taurat menjawab, “Orang yang menunjukkan belas kasihan kepadanya.”
Yesus pun berkata, “Pergilah, dan perbuatlah demikian.”
Kasih sejati tidak dibatasi oleh perbedaan suku, agama, status sosial, atau hubungan pribadi. Kasih sejati adalah kasih yang melampaui batas—kasih yang lahir dari hati yang digerakkan oleh belas kasihan Kristus.
Saudaraku,
Kita pun pernah mengalami kasih yang melampaui batas itu—kasih Kristus yang menyelamatkan kita. Karena itu, mari kita menjadi saluran kasih itu bagi siapa pun, tanpa syarat, tanpa pamrih, dan tanpa memandang latar belakang.
Doa:
Tuhan Yesus, terima kasih karena Engkau telah lebih dulu mengasihi kami tanpa syarat. Ajar kami untuk mengasihi setiap orang dengan tulus, melampaui batas-batas yang ada, dan menjadi saksi kasih-Mu di mana pun kami berada. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar